Aku Baik baik saja kan?

12.7K 681 9
                                    

        Aku menuruni anak tangga dengan semangat.

Siapa sangka jika bukan hanya di sekolah aku mendapat tugas bersama Gavin, melainkan ada tugas yang harus kukerjakan bersamanya di rumah. Setelah perdebatan panjang akhirnya kami sepakat akan mengerjakan tugas dirumah Gavin.

Meskipun tidak berdua saja, nanti akan ada Lala dan Galang yang akan ikut bersama kami.

       Langkahku terhenti saat kulihat Bian dengan napas tersengal berusaha menaki tangga.
Tubuhnya yang sedikit gemuk semakin merepotkanya. Aku melihat dia memegangi lutut, tangan kecilnya terlihat mengitung anak tangga.

"Sedikit lagi, lima lagi semangat Bian kamu cowok. Pasti kuat!" Ucapnya penuh semangat.

Sejenak aku terpaku.

Sejujurnya, aku iba melihatnya susah payah menaiki anak tangga hingga lantai tiga, tapi egoku berkata lain.

Anak kecil ini, Kakak dan mamanya sudah merebut papa dariku.
Mereka orang orang yang sudah membuat Yangti sakit sakitan lalu meninggalkan ku.

"Kakak mau kemana?" Entah sejak kapan dia sudah berdiri tepat dibawah anak tangga yang ku pijaki.

"Bukan urusanmu, awas aku mau pergi!" 

Saat aku melewati badannya, aku bisa mendengar deru napasnya yang memburu. Mataku terpejam saat aku mendengar isakan tangisnya.

Bocah ini!

Geramku dalam hati.

"Bian cuma mau ajak kakak main. kapan kakak mau main sama Bian? Bian mau belajar piano sama Kakak." Ucapnya lirih.

Aku menghela napas lelah melihat Bian yang sudah duduk dengan kedua telapak tangan mungil yang menutupi wajahnya.

Apa aku keterlaluan?

Dia makin sesengukan saat aku duduk disampingnya.
Berusaha menurunkan ego, aku membelai kepalanya.
Bian terlihat kaget dan langsung mendongak padaku.

Mungkin karena biasanya aku akan meninggalkanya saat dia menangis begini.

"Dengerin ini baik-baik ya. Papa nggak suka Bian deket deket sama Kakak. Bian pernah hampir celaka karena kakak, kan?"

Mata Bian menerjab banyak, dia mungkin mengingat kejadian sewaktu aku dipukuli Papa.

Waktu itu Bian menangis histeris,
dia jatuh saat mengejar bola yang aku tendang jauh karena bola itu menghalangi jalan sepedaku.

Bian yang jalannya belum terlalu lancar terpeleset hingga bagian wajahnya terluka. Papa murka denganku, Beliau seperti kesetanan mengajarku seakan lupa aku adalah anaknya juga.

Aku bahkan masih trauma sampai sekarang, terkadang bayangan Papa mengayunkan sapu ketubuhku bertubi tiba-tiba melintas dan menganggu tidurku.

Mungkin jika tidak ada Bibi Ema aku sudah mati ditangan Papaku sendiri.

Semenjak itu Papa semakin membenciku. Beliau tidak mangijinkanku dekat dengan keluarga barunya.

Ya, termasuk tidak pernah mengajak ku makan satu meja lagi.

"Tapi.Bian.mau.main.piano.sama Kakak," ucapnya terbata.

Aku memejamkan mata saat Bian menyebutku Kakak ditengah isakanya. Seperti ada yang meremas dadaku dengan kuat.

"Kakak nggak bisa main piano lagi, Papa nggak suka kakak main piano."

Ibu jariku mengapus air mata yang masih menetes dipipi gemuk milik Bian. Aku tahu Bian tidak puas dengan jawabanku, dia masih terlalu kecil untuk memahami kenapa Papa tidak suka melihatku main Piano.

Broken Home [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang