Dua Kapal Satu Nahkoda

11.1K 625 14
                                    

     Aku menatap malas bayanganku di depan cermin.

        Baju seragam yang biasa kupakai, terpaksa kuganti dengan seragam yang berukuran jauh lebih besar.
Rambutku yang biasa kuwarnai dengan berbagai warna, sekarang kembali ke warna aslinya.
Bukan tanpa alasan aku merubah diriku menjadi lebih normal, semua karena Dino yang menceramahiku habis-habisan semalam.

Siapa sangka saat Bintang menurunkanku di depan rumah, Dino sudah berdiri di sana sambil bersedekap dada.

Gayanya sudah mirip seorang Bapak yang menunggu anak gadisnya pulang pacaran.

Aku dan Bintang sempat saling pandang heran. Sebab setahu kami, saat motor Bintang meninggalkan area rumah ibu, Dino masih disana. Jadi bagaimana mungkin dia yang lebih dulu sampai rumah.

       Aku berulang kali bersumpah bahwa cowok yang kusukai bukan Bintang, tapi Dino masih belum percaya. katanya, Bintang mendekatiku karena pakaian yang kupakai menunjukan lekukan tubuh.

Dino selalu mengawasiku jika aku mengaku menyukai lawan jenis. Barangkali karena dia takut aku akan melakukan kesalahan lagi.

Seperti sekarang, tahu aku mulai menyukai seseorang, dia bersikap aneh, terlebih menurutnya yang  kusukai adalah Bintang musuh bebuyutanya.

Bintang, dia sempat menanyaiku siapa Dino.
Maksudnya, hubungan kami, tapi aku memilih untuk bungkam, aku sengaja membiarkan Bintang salah paham supaya dia berfikir bahwa aku memang ada apa-apa dengan  Dino.

Dengan begitu aku berharap dia berhenti mengangguku dan sepertinya berhasil. Sejak semalam Bintang pamit pulang, dia sama sekali tidak mengabari aku apapun.

Biasanya setiap malam dia akan mengirimiku banyak pesan sampai aku mau membalasnya. Tapi hingga pagi ini tidak ada satupun pesan yang menunjukan dia akan menjemputku.

Tidak masalah, itu artinya aku sudah bebas dari Bintang.

Aku menuruni tangga, pandangan yang pertama kulihat seperti biasa adalah kebersamaan keluarga papa dan istri mudanya. Pemandangan yang selalu membuat mood pagiku berantakan.

Moodku semakin hancur saat di meja makan bukan hanya ada mereka, di sana juga ada perempuan yang amat kucintai ikut bergabung dengan mereka tanpa rasa canggung sedikitpun. Padahal aku tahu beliau menyimpan sakit hati yang begitu dalam sama sepertiku.

Keluargaku benar-benar sinting, ibarat dua kapal yang di pimpin satu nahkoda kami hanya menunggu kapal mana dulu yang akan karam. 
Jelas itu adalah kapal miliku dan mama, karena sang nahkoda lebih memilih memimpin kapal milik istri mudanya. 

"Masakannya enak kan, Pa? tadi Nana yang bantuin ibu masak loh."

Pergerakanku yang hendak menyendok lauk mendadak berhenti. Iya, memang hanya ketika mama pulang aku mau bergabung dengan mereka, semata-mata karena aku menghargai mama. Aku mau temani mama menghadapi keluarga tante Tami. Karena biasanya, jika sedang bersama begini, Papa sering menyakiti hati Mama, entah sengaja atau tidak.

"Masakan kamu sama ibu memang paling enak," puji Papa pada Vierna.

Nahkan, benar kataku.

Jelas aku melihat perubahan raut wajah Mama. Mungkin karena Mama memang tak pernah memasak untuk kami dan lebih sibuk dengan bisnisnya.

"Bibi, tolong bikinkan Tiwi telur dadar," Aku menghampiri bibi yang sedang membersihkan peralatan dapur. Bibi terlihat terkejut dengan permintaanku, tapi ketika aku mengatakan aku rindu dengan telur dadar bikinan bibi, beliau langsung menuruti kemauanku. Tanpa banyak kata lagi, aku memindahkan nasi kedalam lunch box.

Broken Home [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang