Dino

11.8K 633 25
                                    

Happy reading, Love

     "Gendis bangun woey!"

      Aku mengeliatkan tubuh saat merasa ada yang membuka jendela kamarku sehingga cahaya sinar matahari menyilaukan mata.
Ingin sekali aku melempar bantal cowok yang sedang berdiri di samping jendela kamar, dengan tangan yang Ia masukan dalam saku celana seragam Cendrawasih.

Ingin sekali aku melempar bantal cowok yang sedang berdiri di samping jendela kamar, dengan tangan yang Ia masukan dalam saku celana seragam Cendrawasih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ngapain sih, No, pagi-pagi kesini?"

Aku membenamkan diri di bawah selimut mengabaikan Dino yang baru memincingkan mata. Rasanya aku baru tertidur beberapa jam saja dan malas sekali membuka mata.

"Bangun atau mau di seret?"

Aku mengeram kesal saat selimut yang menutupi separuh badanku, di tarik si jangkung itu.

"Ngapain, sih? Kita udah beda sekolah kalau Kamu lupa," sungutku meneriakinya.

"Aku enggak lupa, makanya buruan bangun aku anterin."

Aku menghela napas untuk mengurangi kekesalanku, baru setelah nyawaku terkumpul aku bangun menatap Dino sebal.

"Aku nggak bisa bareng, udah ada janji bareng teman."

Dino menaikan kedua alisnya, membuatku sekali lagi berdecak kesal, sebab matanya mencicing manatapku penuh curiga.

"Kamu punya teman?"

"Setan!" umpatku kesal melemparkan bantal pada wajahnya, bukan marah Ia justru terkekeh.

Saat melirik jam di nakas, alat pengukur waktu menunjukan pukul enam pagi, tumben manusia jangkung ini sudah siap.

"Buruan kabarin temanmu, kamu berangkat sama aku."

       Aku mengambil ponsel untuk mencari nomor Bintang, tidak butuh waktu lama akhirnya panggilan tersambung.

"Ya, sayang, aku baru bangun."
Aku mendengar suara purau khas bangun tidur dari seberang sana.

"Sayang-sayang palamu peang!"
Saat aku melirik Dino, kedua alisnya saling tertaut mendengar obrolanku.

"Pagi pagi udah marah marah aja sih."

"Nggak usah jemput aku."

"Kenapa?" tanya Bintang cepat.

"Nggak usah pokoknya."

"Mau ngingkarin kesepakatan?"

Aku mengepalkan tangan menahan geram. Bintang ini suka sekali memaksa.
"Nanti pulangnya aja, udah, ya, aku mau mandi," jawabku ketus, lalu, mengakhiri panggilan sepihak.
Aku masih bisa mendengar Bintang memanggil namaku sebelum aku mematikan panggilan telepon kami.

Tapi, bodo amatlah.

***

     Setelah selesai membersihkan diri dan berganti seragam, aku bergegas berangkat. Saat menuruni tangga.
Aku melihat keluarga Papa sedang menikmati sarapan, yang membuatku kaget, ada Gavin ikut bergabung bersama mereka. Sebisa mungkin aku menahan diri untuk terlihat biasa saja dan hanya melewati mereka tanpa ingin menoleh.
Dalam diam ada rasa yang sulit kujabarkan ketika melihat keluarga mereka sehangat itu.

Broken Home [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang