Bintang Semesta

9.3K 594 43
                                    


Selamat membaca❤❤

     "Apa emang seharusnya Tiwi ngebiarin Mama sama Papa Pisah aja ya Tante?"

Tante Rianti mengusap rambutku saat aku mengatakan itu, kedua sudut bibir beliau melengkung naik.

"Kenapa tiba-tiba nyerah? Kamu enggak mau bantuin Mamamu perjuangkan cintanya dan kebahagiaan kalian?"

"Kebahagiaan apa, Tan? Justu Mama akan makin terluka lihat Papa lebih sayang tante Tami dari pada Mama," ucapku berkata jujur, sebab begitulah yang selama ini kulihat.

Posisiku yang tadinya tiduran di pangkuan Tante Riyanti, mendadak miring menghadap layar Televisi yang sedang menayangkan sinetron azab kubur, membuatku tiba-tiba begidik ngeri.

"Tante, sejak kapan suka nonton beginian?"

Tante Riyanti seketika tertawa tanpa menghentikan sapuan tangannya dari kepalaku, "Papa Mama mu udah dewasa,Wi. Biarkan mereka menentukan pilihan mereka sendiri."

Aku memilih diam sambil menyimak.
"Bagi seseorang yang sudah berrumah tangga, tentu enggak mudah memutuskan berpisah meski hatinya sudah jatuh berkali-kali. Bukan semata hanya karena cinta, tapi lebih resiko setelah mereka berpisah berdampak apa bagi masing-masing, terutama ketika mereka sudah mempunyai anak."

Aku mengangguk setuju, "Selama ini Tiwi emang enggak mau Mama sama Papa pisah. Tiwi pikir perasaan cinta bisa bikin Mama dan Papa baikan."
Aku memang berpikir demikian,apa mungkin aku bisa terlahir di dunia ini jika tidak ada cinta diantara mereka.
"Tapi ternyata Tiwi salah, keegoisan Tiwi malah bikin Mama dan Papa enggak bahagia"

"Dari mana kamu tahu Mama Papa mu enggak bahagia?" tanya tante Riyanti.

"Papa enggak mungkin nikah sama tante Tami padahal Papa udah beristri. Bahkan setelah itu tante Tami malah di bawa kerumah. Kalau Papa sayang sama mama, Papa nggak akan lakuin itu kan, Tan?" tanyaku lirih nyaris seperti gunggaman. Tapi aku yakin tante Riyanti mendengarnya.

"Dengarkan Tante baik-baik ya, Wi."
Aku mengangguk di pangkuan Tante Riyanti dengan mata terpejam
Aku mudah sekali ngantuk kalau kepalaku udah digaruk-garuk kecil seperti ini.  Apa lagi kepalaku masih terasa sedikit pusing karena semalam.

"Menjadi perempuan atau menjadi istri itu berkewajiban menjaga dan mengurus suami. Perempuan itu boleh meraih mimpinya di luar sana. Tapi tugas perempuan paling utama adalah di rumah, mengurus dan membahagikan suami dan anak. Bukan suatu keharusan memang, tapi kita sebagai perempuan harus sadar, rumah tangga akan kuat jika saling melengkapi."

Aku diam-diam merekam nasehat Tante Riyanti, banyak yang Beliau sampaikan sebelum kesadaranku mulai hilang seiring garukan di kepalaku sudah tidak lagi terasa.

Entah sudah berapa lama aku tertidur di sofa ruang keluarga rumah Dino, sebab saat aku meraba bagian bawah kepalaku kini sudah tertumpuh bantal. Tante Riyanti pasti sudah menggantinya.

Tanganku bergerak bebas mencari ponsel yang sedari tadi bergetar.
Dengan kesadaran yang belum penuh, aku mengeser ikon warna hijau lalu menempelkan ponsel ditelingaku.

"Hallo"
Sapa suara laki-laki, tapi aku malas buka mata, palingan juga Dino.

Aku hanya bergunggam malas dengan mata yang masih terpejam.

Tapi setelah aku jauhkan ponsel untuk mengecek siapa yang berbicara di sebrang sana, aku langsung bangkit untuk duduk.

Sebab cukup lama orang ini tidak menelponku.

"Apa aku ganggu?" Tanyanya ketika kami sama-sama terdiam cukup lama.
"Aku tutup aja ya, Dis.kamu istirahat lagi aja."

"Eh jangan!" sahutku cepat
"Maksudnya -ada-apa telepon?" tanyaku sedikit gugup.

Aku kenapa sih, kenapa jadi gugup begini?

"Cuma pingin tahu keadaanmu.
Apa udah baikan?"

"Ooh.. Aku sudah enggak apa-apa kok, Bin."

Aku tidak mendengar apa-apa lagi selain suara hembusan napas keras dari Bintang.

"Ku tutup ya? Lebih baik kamu istirahat." Ucapnya kemudian.

"Bintang?"

"Iya?"

"Maaf ya kalau semalam aku udah ngerepotin, dan terima kasih udah mau nolongin aku," ucapku random untuk memecah kesunyian.
Selain itupun emang aku belum bilang terima kasih ke Bintang.

"Hm, Jangan main ke tempat begituan lagi. Tempat itu enggak pantas buat kamu."

Aku menganguk, padahal Bintang juga tak akan melihat itu.

"Kalau kamu punya masalah, tempat itu bukan penawarnya. Ada aku yang siap dengerin apapun yang ingin kamu ceritakan."

Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskanya pelan "apa semalam aku mengatakan sesuatu?"

Semalam aku tidak ingat apa-apa lagi Selain melihat Dean tersungkur di lantai setelah itu suara pekikan cukup keras.

"Apa aku mengatakan sesuatu, Bin?" ulangku lagi.

"Enggak, tapi kondisimu jelas menggambarkan sesuatu yang enggak baik."

Aku diam, tidak tahu juga mesti jawab apa lagi.  Agak bingung juga dengan sikap Bintang, sebab terakhir kali dia masih marah padaku.

"Kamu di rumah?" tanyanya tiba-tiba.

"Aku di rumah Dino. Memang lagi istirahat?" tanyaku sambil menoleh pada jam dinding.

"Enggak, tapi kelas lagi kosong. Guru rapat." jawab Bintang.

Aku tidak tahu lagi mesti ngomong apa, anehnya aku juga jadi mendadak canggung.

"Dis?" Panggil Bintang tiba-tiba.

"Iya Bin?" sahutku cepat.

"Nanti mau enggak aku ajak jalan?"



Kalian mau cerita ini lanjut nggak??

18 sept2019Republish 21/1/2021Love, Rum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

18 sept2019
Republish 21/1/2021
Love,
Rum

Broken Home [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang