Lawan Sebanding

8.2K 580 25
                                    

Happy reading❤❤

"Udah?"

Aku ngangguk sembari mengusap air mata. Dengan masih sesengukan aku berusaha untuk menata emosiku lagi.
Kami masih berada dalam mobil, Bintang hanya melajukan mobilnya keluar komplek lalu mengambil jalan menepi dan membiarkanku menangis menumpahkan semua bebanku.

Ada banyak hal yang harus kukalahkan ketika memutuskan keluar dari rumah, salah satunya kenangan bersama Yangti dan mengakui bahwa aku memang sudah kalah.

"Kalau kamu ngerasa yakin keluar dari sana artinya memang kamu harus siap kehilangan kan? Tapi perasaanmu sekarang gimana. Lega?"

"Sedikit, tapi sedih Bin. Kenapa jalanku begini banget sih?" jawabku jujur dengan bahu yang kembali bergetar karena isakan.

"Kan, kita emang enggak bisa memilih dari keluarga mana kita dilahirkan, Dis."

" Dino punya keluarga sempurna, Milla meski orang tuanya sibuk tapi tetep rukun, bahkan Ayahnya sayang banget sama dia. Segala cita-cita Milla didukung penuh dan difasilitasi. Aku pengin enggak iri, tapi kenapa dunia enggak adil, sih?" rancauku dengan air mata kian mengalir deras.

Bahkan ketika Bintang menarikku dalam pelukannya rasanya justru bikin aku makin sedih.

"Aku kan enggak pernah minta hal besar, Bin. aku cuma mau Papa sayang sama aku sama seperti dia sayang Vierna atau Bian. Aku cuma pingin Mama kasih perhatian bukannya ninggalin aku dan enggak pernah tahu kapan baliknya."

"Iya," Jawabnya seraya mengusap rambutku.

"Mereka kenapa jahat sih, Bin? Apa karena aku nakal? Karena aku enggak pinter? Aku enggak bisa bikin mereka bangga, Iya?" tanyaku dengan isakan semakin payah.

"Kata siapa kamu enggak pinter? Kamu hebat main basketnya, kamu juga berbakat main pianonya. Enggak cuma yang jago akademis aja yang bisa bikin orang tua bangga, Dis. Mama Papamu belum tahu aja gimana lincahnya kamu di tengah lapangan. Atau mereka tahu tapi enggak tahu gimana cara ngomongnya"

Aku tahu Bintang sedang berusaha menghibur, tapi sebanyak dia memberikan kalimat, tidak akan bisa membohongiku bahwa memang aku tidak pernah diinginkan.

Selamanya akan begitu.

***

        Suara decitan sepatu dan lantai lapangan basket bersahut-sahutan dengan gemuruh penonton yang memenuhi tribun sore ini. Timku total sudah bermain melawan tiga tim dari sekolah lain untuk memasuki babak final.

Aku berulang kali memandangi layar ponsel dengan perasaan bimbang, setelah menerima panggilan dari Bibi Ema tigapuluh menit yang lalu.
Beliau mengabarkan sesuatu yang kurang baik sehingga membuat konsentrasi ku sedikit terpecah.

"Kita ke sana kalau kamu mau, tapi aku atau Bintang harus ikut," ujar Dino setelah aku bercerita tentang Bian.

"Bian cuma demam,  dia emang gampang sakit, kan? Lagipula aku malas nginjak kaki di rumah itu."

"Tapi kamu dari tadi kelihatan cemas, Dis."

Aku tersenyum tipis.

Benar, aku cemas. Sebab kata Bibi Ema, Bian terus menangis mencariku.
Padahal sebelumnya aku juga tidak sedekat itu dengan Bian.
Ralat, mungkin karena aku tidak mau dekat-dekat dengannya.

Bian, adikku, itu berulang kali menyusulku tidur di kamar atas.
Sering ketika aku bangun tidur, aku menemukan Bian sedang tidur dalam pelukanku.

"Kita lihat perkembangannya besok, kalau Bian masih sakit datanglah. Kasian kan?"

Aku mengangguk setuju,  bertepatan dengan suara peluit panjang menandakan pertandingan dari SMAN 6 dan SMA Taruna sudah selesai.

Broken Home [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang