Usaha pertama

13.7K 666 19
                                    

"Gavin,"

Cowok yang sedang mengemasi bukunya itu mendongak, menatap sekilas padaku yang sedang berdiri dihadapannya, lalu, kembali merapikan bukunya kedalam tas.

"Gav, minta nomer ponsel boleh?" pintaku sambil mengulurkan ponsel.

"Nggak!"

"Ck, pelit. Id Line atau Instagram kamu apa?" tanyaku tak mau menyerah.

"Mau ngapain sih?" tanya Gavin galak.

"Aku suka sama kamu, jadi boleh dong aku usaha." Jawabku jujur.

Uhuk

Galang teman sebangku Gavin  tersedak.

Kemudian tawanya mendadak pecah ketika dilihatnya Gavin juga ikut terbatuk.
Wajahnya yang putih mendadak merah seketika.

"Kalian kenapa jadi batuk batuk? sakit?" tanyaku bingung.

"Kamu siapa? Gendis?" tanya Galang disela tawanya.

Aku mengangguk meski ragu karena setelahnya tawa Galang semakin keras, untung saja keadaan kelas sepi hanya tinggal Lala yang seperti biasa pulang paling akhir karena malas berdesak desakan.

"Barusan ngomong apa? suka sama Gavin?"

Aku mengangguk mantap sembari tersenyum lebar.

"Dan kamu bilang suka sama dia tanpa beban banget. Sumpah kamu gokil." ucap Galang sembari tertawa.

"Lah, suka sama Gavin memang tanpa beban, terus salahnya dimana?"

"Bukan gitu, Dis. Tapi apa kamu nggak malu?"

Aku memincingkan mata mengamati wajah Galang dan Gavin secara bergantian, kemudian beralih pada diriku sendiri.

"Aku masih pakai baju lengkap, bagian mana aku harus malu?"

"Aduh gini deh, Dis. kamu kan ce___"

"Cabut!" Gavin mulai berdiri lalu menyeret kerah seragam Galang, mangajak temannya itu segera keluar kelas melewatiku yang masih bengong.

Kok aku ditinggal sih?

***BROKENHOME***

            Aku mengumpat kesal saat beberapa kali tembakan bola meleset tidak memasuki ring basket.
Setelah menyelesaikan hukuman, aku memilih untuk tidak langsung pulang.

Bayangan Vierna memeluk pinggang Gavin membuatku amat kesal, terlebih Gavin terlihat tak keberatan.

Mungkinkah mereka memang berpacaran?

Tapi, bukannya Papa melarang kami pacaran sebelum lulus SMA?

Ahh, Aku lupa, larangan itu hanya berlaku untukku saja.
Sebab melihat Vierna yang selalu juara kelas, sedangkan aku yang selalu mendapat peringkat terendah, sudah pasti kata-kata itu hanya tertuju untukku saja.

"Papa nggak mau dengar kalian pacaran sebelum kalian lulus SMA. Terutama yang merasa dirinya tertinggal, keluarga Sudarmadyo nggak punya keturunan anak bodoh."

Kalimat itu diucapkan oleh Papa tiga jam setelah Yangti dimakamkan.
Aku yang baru merasa terpukul sebab satu satunya keluarga yang menganggapku ada, kini sudah meninggalkanku selama-lamanya. sekarang aku harus ditampar perkataan Papa yang secara tidak langsung menganggapku bukan keturunan keluarga besar Eyang.

Sial!

Sekarang benar tidak ada yang membelaku di rumah itu.

Aku benar benar sendiri.

"Kamu nggak akan bisa masukin bola kalau mainnya pake emosi."

Aku yang tengah membungkuk memegangi lutut dengan nafas tersengal mendadak menegakan badan.

Aku sampai harus memutar badan sembilan puluh derajat untuk melihat siapa yang tengah berdiri memakai kaos putih berbalut seragam sekolah yang tidak terkancing itu, sebelah tangan kanannya memegang skateboard dan sebelah kirinya memegang tali tas punggung.

Lelaki itu menampakan senyum miring,  seperti tengah meremehkanku.

Lelaki itu menampakan senyum miring,  seperti tengah meremehkanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ngapain masih disini?" tanyaku dengan tatapan penuh selidik.
Sebab ini sudah hampir petang, semua penjuru sekolahan sudah kosong dari dua jam yang lalu, termasuk beberapa siswa yang hari itu mengikuti extrakulikuler.

"Kamu sendiri ngapain masih disini? Aku kira tadi setan yang lagi main basket magrib-magrib gini."

"Bukan urusanmu!" Jawabku ketus.

"Mau tanding basket sama aku?"

"Nggak!"

Bintang tersenyum miring.
Ia maju beberapa langkah membuatku refleks mundur dengan Gerakan tak kalah cepat.

Tatapan lelaki itu tak pernah lepas dariku sembari masih mempertahankan senyumnya. Membuatku seketika menahan nafas saat jarak kami kian terkikis.

"Takut?" tanyanya lirih.

"Ng__nggak"

"Buktikan kalau gitu" tantangnya kemudian.

Aku bahkan sampai harus mendongak karena postur tubuh cowok itu yang jauh lebih tinggi dariku.

"Siapa takut!" jawabku mulai tertantang.

Tersenyum puas Bintang mengulurkan tangannya dihadapan ku, "yang menang boleh minta sesuatu dan yang kalah wajib memenuhi kemauan yang menang, gimana?"

"Nggak! Aku ngak mau taruhan." tolakku cepat. Mendengar ucapanku dia kembali menampilkan senyum sinisnya.

Lama-lama aku menjadi kesal melihatnya.

"Takut kalah?"

"Aku ngak akan kalah!"

Sumpah, meski ini bukan pertama kalinya aku harus bertanding melawan cowok, tapi moodku benar benar sedang tidak baik sekarang.

Di saat seperti ini, pasti aku akan bermain dengan ceroboh.

"Buktikan kalau gitu"

"Oke" sahutku mantap.

***Brokenhome***


Bermain ditengah temaramnya cahaya sinar lampu yang tidak begitu terang, kami masih saja berebut bola basket.

Saat Bintang berhasil mencetak tiga point berturut-turut aku tidak bisa menahan geram.

Sementara Bintang tidak hentinya tertawa puas melihat ekspresiku yang terus mengerucutkan bibir padanya.

"Bintang! Curang." teriakku kesal.

Aku merebut bola kasar, lalu, membuangnya ke pinggir lapangan.
Membiarkan bola itu entah mengelinding kemana.

Aku kemudian merebahkan diri ditengah lapangan dengan lengan yang menutupi mataku, tidak peduli suara tawa Bintang yang semakin menjadi jadi.



*Maaf untuk typo

Love,
Rum

Broken Home [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang