Kembali ke Neraka

20.9K 990 14
                                    

Jalanku berliku
Gelap dan terjal hingga berulang kali aku terjatuh dan terluka tapi tak kunjung mati saja.   


       Aku melangkah enggan saat masuk ke rumah besar dan mewah itu, langkahku semakin berat ketika kakiku hampir menepak masuk terdengar suara gurauan dari dalam rumah, suara tawa lepas dari seseorang yang sangatku kenal.

Tawa yang tidak pernah terbagi untuk ku sedikit saja.

Aku menelan saliva ketika suara tawa itu tiba tiba lenyap saat menyadari aku masuk dalam rumah, selalu begitu.

Seakan Aku adalah penyakit yang amat bahaya yang harus dihindari.

Melangkah cuek, Aku berlalu meninggalkan sepasang suami istri dan anak kesayanganya tengah bercengrama diruang tamu.

Tumben Papa sudah pulang.

Biasanya menjelang tengah malam beliau baru akan pulang dengan tubuh lelah lengkap dengan lingkaran hitam diarea mata.
Aku tahu Papa bekerja keras untuk menjaga perusahaan milik keluarga.

    Lantai tiga rumah ini nampak sepi seperti biasanya, pasalnya hanya ada kamar besar milik ku bersebelahan dengan gudang dan balkon yang di design sangat besar dan luas.
Dikamar ini Aku merasa amat kesepian.

Papa sengaja membelikan fasilitas banyak untukku yang kemudian dipindah kekamar seakan Aku tidak boleh menganggu kehidupan keluarganya.

      Semua fasilitas tersusun rapi dikamarku contohnya lemari pendingin yang berisi berbagai minuman dan makanan yang rutin diisi oleh pembantu rumah.

     Barang kali harusnya Aku merasa senang hidup dengan fasilitas lebih, mobil mewah yang disiapkan satu untukku hampir tidak pernah ku pakai.

Aku  lebih suka memakai sepeda untuk kemana mana kecuali dalam keadaan mendesak. 

       Aku melempar asal tas keatas ranjang.
Masih dengan memakai seragam lengkap aku mengampiri piano milikku.

Jemariku mulai bergerak memainkan tuns piano dengan mata terpejam, berharap dentingan piano mampuh mengusir kesunyian hatiku.

Aku merasa amat asing dengan rumahku sendiri.

Sedari kecil Papa selalu mengasingkanku, mengajak bicara juga jarang sekali.

Mama? perempuan itu pasti sedang sibuk dengan bisnis fasionnya lupa jika punya anak perempuan yang terkadang iri melihat kehangatan keluarga teman temannya.

Aku membuka mata ketika mendengar dering ponsel yang berbunyi, alisku tertaut saat melihat nomer asing  dilayar ponsel.

"Hallo?" sapaku dengan nada sedikit ragu.

"Hallo ini Pertiwi?" tanya seseorang dari seberang sana menjawab kekhawatiranku.

Jika ada yang memanggilku dengan sebutan Pertiwi itu artinya panggilan dari orang yang sangat kenal dengan keluargaku.

"Hm, siapa ?" tanyaku, sengaja bernada jutek.

"Hay aku Richard Bastian, anak mami Lian, sahabat mama kamu, tante Ambar," jelasnya lengkap.

Oke, Aku mulai paham jika ada lelaki menghubungiku atau lebih nekat datang ke Sekolah seperti yang sudah sudah tujuanya satu.

Lelaki itu akan dijodohkan denganku.

Memang ini jaman apa masih ada perjodohan? dan parahnya ini entah sudah cowok keberapa yang dikenalkan padaku.

"Kalau kamu ngehubungin aku karena disuruh sama mama.
Lupain aja, aku nggak ada niatan buat nikah muda, apa lagi sama kamu, paham?" Ujarku galak.

"Tapi wi aku___"

Klik

Aku memutus sepihak sambungan telepon itu, kemudian jemariku mengetik pesan singat untuk mama.

Me
17.15
Ma, Richard itu siapa lagi? stop cariin pertiwi calon suami Ma,  pertiwi nggak mau!

Mama
17.20

Rich itu anak nya tante Lian, dia baru pulang dari Sidney Mama rasa dia cocok sama kamu, bukannya kamu mau nya cepet nikah supaya dapet perhatian?

Me
17.21
Pertiwi emang mau diperhatiin, tapi nggak gini juga Ma! yang Tiwi butuhin Mama sama Papa.

Mama

17.23

Lupain itu Pertiwi! kamu tuh nggak tahu diuntung, masih mending kamu di fasilitasi lebih sama Mama Papa, anak lainnya pengen kaya kamu sekarang.

Me
17.23
Aku rasa nggak ada anak yang mau tinggal dengan keluarga sinting kaya gini, hidup satu atap dengan mama tiri sedangkan mama kandung nya hidup bebas kemana mana.

Mama

17.25

Jaga uacapan kamu Tiwi!!! gara gara kamu  Mama jadi gagal ngewujudin cita cita Mama.
Hidup Mama ngak selalu tentang kamu, nggak usah cerewet!.


Cukup. Aku tidak mampuh lagi membalas pesan Mama.

Jika tidak pernah diinginkan kenapa aku harus hidup di dunia?
Padahal bisa dulu aku digugurkan saja agar aku tidak merasa menjadi benalu dikeluargaku sendiri.

Apa salahku sampai-sampai kedua orangtuaku begitu membenciku?

Apapun alasannya bukankah seharusnya Aku berhak mendapatkan kebahagiaan dari keluargaku sendiri?

Dengan tubuh bergetar Aku meringkuk, tangisan yang awalnya pelan berubah menjadi rintihan, dengan kuat aku meremas dada seakan dari sana kesakitan itu berasal.

 ***BROKEN HOME***

 Entah sudah berama lama Aku tertidur.
Mataku terasa berat ketika tidurku tergenggu dengan suara brisik.

Perlahan mataku terbuka, tubuhku menegak sempurna ketika menangkap Papa sedang berbicara dengan seseorang di dalam kamarku.

"Papa ngapain disini?" 

Papa menoleh padaku sebentar, lalu kembali lagi berbicara dengan seseorang di depannya yang terlihat sedang menjelaskan sesuatu.

"Pa?" panggilku lagi karena Papa tak menjawab pertanyaanku.

"Papa pasang peredam suara, biar suara piano sialanmu itu nggak ganggu ketenangan Keluarga Papa yang butuh istirahat."

Aku menelan salivaku kasar.

Sebeginikah Aku tidak diinginkan?

"Tiwi bisa berhenti main piano kalo papa nggak suka. Tapi pleasejangan semakin mengasingkan Tiwi dirumah, Pa."

Aku sampai harus menggigit bibir bawahku setelah mengatakan itu, tidak peduli bahwa dikamar itu tidak hanya ada aku dan Papa.

Sekarang sekuat apapun aku menahan agar air mataku tidak keluar Aku selalu gagal.

Aku benci menjadi cengeng tetapi susah juga bagiku menyimpan luka itu sendirian.

"Dari awal kamu memang orang asing untuk keluarga papa Pertiwi!"
Ucap beliau bagaikan menancap pisau dihatiku.



*Maaf untuk typo

Love
Rum

Broken Home [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang