Bunda

11.2K 617 13
                                    

Selamat membaca dan maaf untuk typo ❤❤


      Aku mengantarkan Bintang ke tempat studio musik yang katanya, sudah dia sewa dua jam kedepan untuk latihan menjelang acara festival sekolah.

Bakti Nusa memang akan mengadakan festival sebentar lagi, tepatnya setelah kami melakukan ujian kenaikan kelas.

Biasanya akan banyak pameran, pertunjukan seni, pertandingan olahraga lawan sekolah lain, dan terakhir pertunjukan musik.

Acara yang rutin Bakti Nusa gelar menjelang hari jadi Bakti Nusa. Dulu waktu Yangti dan Yangkung masih sehat, setiap tahun aku selalu ikut nonton acara Festival ini. Tapi sejak beliau sakit-sakitan, aku lebih memilih di rumah dan sejak itu Vierna selalu hadir menggantikanku bersama Papa.

"Nggak ikut nonton kami latihan, Dis?" aku hanya mengeleng menjawab pertanyaan Lucky, lalu, masuk ke bangku pengemudi setalah Bintang keluar.

Mereka sedang berkumpul diatas motor, sepertinya memang menunggu Bintang.

"Pacar keberapa nih, Bin?" tanya Juni yang langsung disambut pukulan cukup keras di bagian kepalanya. Sebab, aku mendengar Juni langsung tersungut kesal pada Kriss.

Aku sempat melihat reaksi Bintang, tapi wajahnya terlihat datar, sama sekali tak minat meladeni kerusuhan teman-temannya.

"Mau langsung pulang apa gimana?"
tanya Bintang saat aku sudah memakai Safebelt dan menghidupkan mesin mobil.

"langsung balik," jawabku kemudian.

"Kasih kabar kalau udah sampai, ya!" pintanya dan aku hanya membalas dengan anggukan, tapi mampuh membuat teman-teman Bintang menyoraki kami.

"Iya mas Bintang nanti aku kabari," ledek Jun dengan nada bicara perempuan yang dia buat-buat. Semua teman Bintang ikut tergelak, bahkan Bara ikut menimpali sehingga membuat membuat gelak tawa mereka semakin keras.

"Dasar bucin!" sahut Bara dengan tatapan malas.

Ketika Bintang menatap tajam sahabatnya itu, mereka langsung menghentikan tawanya. Bukan berhenti beneran sebetulnya, mereka hanya terlihat menahan tawa. Karena ketika Bintang menoleh padaku lagi, mereka kembali tertawa.

"Duluan, ya." pamitku pada mereka.

"Siap, hati-hati, Dis." jawab Fajar sembari melambaikan tangannya.

***

      Alih-alih pulang kerumah, justru aku mengemudikan mobil kearah lain. Memasuki sebuah toko bunga, kemudian memilih sebuket bunga Lily untuk seseorang.

Jujur saja pikiranku sedang berkecambuk sekarang, sebentar lagi usiaku menginjak tujuh belas tahun, itu artinya seluruh harta kekayaan milik almarhum Yangkung dan Kakek akan resmi menjadi milikku.

     Panca propertindo adalah perusahaan milik Yangkung dan kakek. Beliau dulu adalah sahabat kecil, hingga ketika mereka beranjak dewasa, Yangkung dan Kakek sepakat  mendirikan perusahaan properti dari nol.

Sekarang perusaan properti milik keluargaku menjadi perusahaan properti yang cukup diperhitungkan.

Kata Yangti agar perusahaan tidak jatuh ke tangan orang lain, maka mereka berniat menjodohkan Mama dan Papa. Yangti dan Yangkung tahu kalau papa sebenarnya sudah memiliki komitmen dengan tante Tami. Tapi seakan semua kehidupan Mama dan Papa memang sudah diatur, mau tak mau Papa menuruti keinginan Yangkung.

Begitu juga dengan Mama.

Tapi Siapa sangka di belakang Mama, Papa masih berhubungan dengan tante Tami? Bahkan setelah setahun Mama melahirkanku, tante Tami melahirkan Vierna.

Dari kecil teman-temanku selalu mengejek karena tiap hari selalu yangti dan yangkung yang mengantarku sekolah, terkadang supir yang menjemputku.

Kata teman-teman, Mama dan Papa tidak sayang denganku. Makanya, aku tak pernah diantar sekolah oleh mereka. Bahkan aku pernah di cemooh jika anak pungut. Itu sebabnya aku pernah ingin berhenti sekolah.

Aku benci melihat teman-temanku yang tiap pagi diantar ibu atau ayahnya. Sampai kemudian bertambahnya usia, aku tidak lagi peduli dengan hal-hal semacam itu.

      Masa sulit itu sebenarnya tak sebanding ketika aku kehilangan Yangti dan yangkung tiga tahun lalu. Saat itu aku merasa duniaku juga berakhir.

Aku tak lagi punya alasan untuk hidup terlebih Papa lebih sering menunjukan sikap tempramennya padaku. Dan, semenjak saat itu aku salah pergaulan.

Ketika usahaku untuk bunuh diri selalu gagal, aku sempat menyicipi narkoba.

Dino, Mas Arka dan om Rahman lah yang akhirnya menyeretku keluar dari dunia itu. Meski tak sampai kecanduan tapi aku harus menjalani terapi dan dampingan psikolog karena kondisi mentalku yang buruk.

Aku kehilanggan duniaku sejak itu.

"Pertiwi, kangen kalian." aku mengusap batu nisan milik Yangti setelah berdoa dan meletakan sebuket bunga lily kesukaan almarhumah.

"Yangti mungkin akan marah dengan keputusan ini, tapi Pertiwi udah pikirkan semua resikonya," lanjutku kemudian,  "bukan karena Pertiwi nggak bisa jaga amanah. Tiwi cuma nggak mau Papa makin benci sama Tiwi, Yang." aku menghembuskan napas yang terasa amat berat di dada.

"Tiwi nggak butuh semua ini, yang Tiwi butuhin Yangti Selalu disini temani Tiwi. Kemarin Papa pasang peredam suara di kamar. Papa nggak mau denger suara piano Tiwi.
Jadi Tiwi putuskan enggak mau main piano lagi. Padahal kalau lagi kangen Yangti, obatnya cuma main piano."
aduku sembari tak putus menatap batu nisan itu. Aku tahu Yangti tidak akan dengar aduanku. Tapi berbicara keluh kesahku dengan Eyang sudah semacam kebiasaan.

Dulu mau aku benar atau salah, Yangti selalu mencari cara untuk membelaku. Setidaknya itu yang kurasakan kalau aku ngadu ke Eyang.

"Yangti, Yangkung udah bahagia di surga sama Kakek nenek, ya? Pertiwi kesepian di sini sendirian. Tadi pagi Mama pulang, tapi katanya mau pergi lagi."

Aku merasa mataku sudah berkaca kaca menahan rindu yang begitu dalam. Coba katakan bagaimana mengobati rindu sementara orang yang kita rindukan sudah tidak ada lagi didunia?
Kata orang aku bisa mengobatinya dengan doa, maka mereka akan datang kemimpi kita. Tapi nyatanya, sejak Eyang meninggal, sekalipun Eyang tak pernah datang dimimpiku.

"Kamu masih punya bunda nak, kamu nggak sendiri."

Aku menghapus kasar air mata dengan punggung tangan.
Saat menoleh aku kaget bukan main karena menemukan Bunda yang mengulas senyum padaku.

Aku bahkan sampai menerjabkan mata berkali-kali untuk memastikan kalau aku tidak salah lihat.

Wanita yang sedang duduk di sampingku sembari berdoa di pusara Yangti adalah Bunda.

Bundanya Gavin.

Love,
Rum

Broken Home [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang