Han River, 4 PM KST.
Dae Han tengah memandangi langit jingga yang berawan indah di tepi sungai han yang tenang. Lalu dikeluarkannya sebuah ponsel pribadi dan ia ambil gambar awan tersebut melalui kamera jernihnya. Sungguh, ini lebih baik dibanding harus pergi ke sauna.
Tak banyak orang yang tau bahwa pria berpakaian serba hitam ini adalah Dae Han, sang solois terkenal, namun itu di masanya dulu.
“AAAAAARRGGHH!!!”
Dae Han melampiaskan semua rasa gelisahnya dengan berteriak sangat kencang, ia sudah tak peduli orang-orang memerhatikannya atau bisa mengetahui bahwa yang berteriak ini adalah Dae Han sang solois. Yang di pikirkannya sekarang, bagaimana nasib karirnya ke depan? Tentu, Dae Han tidak mau karirnya merosot. Ia ingin selamanya menjadi seorang artis yang di kenal, bahkan ia ingin disebut sebagai artis “Legend”. Namun, predikat “Legend” tak semudah yang ia bayangkan. Selain lamanya seorang artis debut, ia juga harus bisa mengumpulkan piagam penghargaan dan fans sebanyak mungkin di seluruh dunia, dan harus bisa memecahkan sebuah rekor dalam dunia musik di mancanegara baik digital maupun tidak, serta namanya juga harus terkenal di seluruh dunia. Syarat tersebut belum mampu Dae Han penuhi. Ia sangat khawatir jika dirinya tak lagi jadi artis, lalu ke depannya dia akan menjadi apa? Pebisnis? Tentu bagi seorang Dae Han yang pekerja keras, pebisnis saja tidak cukup.
Tak lama, ponsel Dae Han berdering. Tertera nama “Manager Ryu” yang meneleponnya. Dae Han membiarkan ponselnya berdering dengan melihat ke arah sungai han yang tenang, lalu ia memutuskan untuk mematikan ponselnya agar dirinya lebih tenang dan tak terusik dengan panggilan yang akan membuat pikirannya semakin kacau.
Di satu sisi, Khadijah tengah mengikuti rapat yang diadakan oleh ketua organisasi islam korea, perihal rencana diadakannya tabligh akbar yang akan dilaksanakan pada 2 minggu ke depan.
“Ada yang punya usul untuk tema tabligh akbar nanti?” tanya Moon Cae In.
“Bagaimana jika mengangkat tema yang sedang booming di negara ini saja? Sebuah kasus yang urgent dan perlu penanganan dengan cara islam,” ucapnya.
“Contohnya?”
“Depresi yang berujung kematian?” usul Khadijah.
Mereka berkumpul di ruang rapat khusus dalam masjid dan merundingkan rapat dengan ada sekat di antara laki-laki dan perempuan, sehingga hanya bisa mendengarkan suara tapi tidak bisa melihat rupa lawan jenis.
“Sepertinya itu menarik. Itu menjadi kasus lama di negara ini yang belum tertangani dengan baik,” tanggap Moon Cae In. “Em, yang lain? Ada usul lain atau setuju dengan pendapat …”
“Khadijah,” jawab Khadijah meluruskan.
“Ah iya, Khadijah. Maaf ya aku belum terlalu hafal dengan suaramu.”
“Iya tidak apa-apa.”
“Menurutku itu menarik,” sahut Mina, orang jepang yang sudah menjadi warga negara asli Korea.
“Aku juga. Aku setuju dengan tema itu karena sekaligus bisa memotivasi dan perlahan kita bisa bantu orang lain yang terkena depresi untuk bisa lepas dari depresi itu dengan cara islam,” tutur Ji Hye, seorang laki-laki mualaf 3 tahun lalu.
“Tapi, bukankah tema itu sudah pernah disampaikan oleh Ustad Moon?” sahut Sae Ron.
“Iya. Memang tema itu sudah aku sampaikan sepekan lalu di Cheonan. Tapi menurutku, suatu topik yang sedang genting, bukankah harus sesering mungkin mendapatkan paparan solusi yang nantinya akan membantu kasus tersebut?”
“Iya benar juga ya,” gumam seisi ruangan.
“Aku juga setuju,” sahut Cae Young. “Lagipula, ceramah itu kan baru disampaikan sekali dan itu pun juga di daerah Cheonan, bukan di Seoul yang notabenenya adalah penyumbang kasus kematian akibat bunuh diri terbanyak,” ungkapnya yang memberi dukungan penuh pada Moon Cae In.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUE LOVE [SUDAH TERBIT]
Fanfiction⚠️ BUKU SUDAH BISA DI PESAN VIA SHOPEE, TOKOPEDIA DAN INSTAGRAM @SEMESTA PUBLISHER Kisah seorang bintang idol Korea yang mencintai wanita bercadar asal Indonesia yang di dalamnya terdapat alur perjalanan cinta yang menuai konflik, dan pemfitnahan se...