Kedua mata besar itu terbuka perlahan, sesekali diikuti dengan ringisan. Apa yang ia lihat hanya sebuah cahaya lampu yang sangat menyilaukan matanya yang masih berat, membuatnya seketika mengerjap. Tubuhnya masih tersisa lemas, namun lebih baik dari yang sebelumnya.
"Khadijah ... kamu udah bangun?" tanya Fatimah yang sudah berada di sisi tempat tidurnya. Sangat terlihat dari raut wajah Fatimah bahwa dirinya begitu cemas dengan kondisi Khadijah dan sebelum Khadijah dilarikan ke rumah sakit.
"Fatimah?" ucapnya pelan.
"Iya aku di sini," jawabnya gusar. "Kamu udah aman sekarang. Kamu sedang berada di rumah sakit nami. Kondisi kamu udah tertangani oleh dokter," jelasnya.
"Kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan tatapan sayu.
"Iya, aku baik-baik aja kok. Maaf banget ... aku telat selamatin kamu, Khadijah. Sebetulnya aku juga lagi nyariin kamu, tapi aku ga pernah kepikiran kalau kamu bakalan nyariin aku di lokasi Winter Sonata. Sebelum tempat itu di bom, aku udah pergi dari sana. Dan saat aku check handphone, ternyata kamu telepon. Tapi ketika aku telepon kamu balik, kamu ga angkat-angkat," jelasnya khawatir. Untaian senyum terbalas oleh Khadijah yang tak mengenakan cadar karena ada beberapa luka yang ditangani oleh dokter di bagian wajahnya, sehingga tak memungkinkan baginya untuk mengenakan cadar dengan luka yang belum mengering.
Senyum indah nan damai dari Khadijah membuat Fatimah termenung dan berpikir, haruskah aku mengikhlaskan orang yang benar-benar berarti dalam hidupku untuk sahabat yang sangat baik dan rela berkorban seperti Khadijah?
Kata-kata itu terngiang dan bergulat terus menerus antara hati dan pikirannya semenjak Dae Han bercerita pada Fatimah bahwa Dae Han berencana ingin menikahi Khadijah sebelum akhirnya Dae Han memutuskan untuk mengatakannya sendiri pada Khadijah.Pikiran Fatimah tak lagi fokus pada Khadijah, melainkan ia masuk ke dalam ruang dimensi ingatannya ketika ia bertemu Dae Han sebelum pertemuannya dengan Khadijah di tepi danau. Mereka bertemu lalu berjalan mengitari area lokasi winter sonata.
"Memang kau mau menyampaikan apa padaku?" tanya Fatimah heran, mereka sudah duduk berdua di bangku kayu panjang tepi danau.
"Begini ... aku ada niatan ingin menikahi Khadijah."
Fatimah membulatkan mata. "Me-menikah?" tanyanya tak percaya.
DEG! DEG! DEG!
Seketika jantung Fatimah berdegup sangat kencang, kini perasaannya semakin kacau.
Dae Han mengangguk yakin. "Aku sudah pikirkan ini dari beberapa hari yang lalu. Dan aku yakin bisa menikahinya."
"Alasan apa yang membuatmu yakin?"
"Karena Khadijah lah yang telah merubah diriku menjadi orang yang lebih menghargai perbedaan."
"Tapi, kalau kau mau menikah dengannya ... kau harus menjadi seorang muslim. Dan semua yang menjadi kebiasaan dan kesukaanmu, harus kau tinggalkan."
"Aku tau itu. Aku harus meninggalkan karirku yang selama ini aku rintis dengan susah payah dan itu tidak mudah. Maka dari itu, aku perlu dukungan dari orang-orang terdekatku, termasuk dirimu. Kau mau mendukungku, kan?"
"Mendukungmu dalam hal apa?"
"Mencoba meyakinkan Khadijah bahwa aku benar-benar serius mengajaknya menikah. Aku tidak main-main. Aku bisa menjadi seorang muslim, tapi rasanya aku tidak bisa meninggalkan karirku begitu saja."
Fatimah menunduk, ia berpikir keras jawaban apa yang pas untuk Dae Han yang sebenarnya itu bertolak belakang dengan keinginan hatinya.
"Tapi ... apa orangtuamu juga sudah mendukungmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
TRUE LOVE [SUDAH TERBIT]
Fanfiction⚠️ BUKU SUDAH BISA DI PESAN VIA SHOPEE, TOKOPEDIA DAN INSTAGRAM @SEMESTA PUBLISHER Kisah seorang bintang idol Korea yang mencintai wanita bercadar asal Indonesia yang di dalamnya terdapat alur perjalanan cinta yang menuai konflik, dan pemfitnahan se...