Chapter 23-perubahan

1.5K 105 8
                                    

                                ***
Keesokan harinya, tepat ba’da dzuhur, Arvin datang ke rumah Khadijah dengan membawa keluarga besarnya untuk melamar Khadijah secara resmi. Keluarga Khadijah begitu mempersiapkan proses lamaran tersebut. Terlihat bahwa Khadijah juga mempersiapkannya dengan merias dirinya di dalam kamar melalui tangan cantik dari bibinya yang merupakan seorang moa, sedangkan di luar sudah ada Firman dan Widyawati yang menyambut Arvin beserta keluarga dengan senyum dan ramah tamah.

Firman mengawali acara dengan sedikit kata pengantar sebelum sambutan dari tokoh masyarakat dan ustad setempat. Setelah itu, Khadijah di persilahkan untuk keluar kamar, menemui kedua orangtuanya dan para tamu. Khadijah begitu cantik meski tertutup oleh cadar dengan balutan gamis berwarna soft pink bermotif bunga dengan warna khimar yang senada. Khadijah duduk di antara Firman dan Widyawati untuk mendengarkan kalimat lamaran dari Arvin.

“Khadijah, mungkin aku bukan laki-laki sesempurna Nabi Muhammad, tak sekaya Nabi Sulaiman, juga tak setampan Nabi Yusuf. Namun, aku berusaha menjadi laki-laki akhir zaman yang meneladani sifat dan tauladan mereka, agar di saat tulang rusukku telah kutemukan, aku bisa menjaganya, berusaha untuk meluruskannya namun dengan kasih sayang tanpa harus membengkokannya. Dan saat ini, bagai Adam dan Hawa yang di pertemukan kembali, tentu aku ga akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa meminangmu. Khadijah… atas izin Allah, maukah kamu menjadi istri dan ibu bagi anak-anakku?” dengan malu-malu, Arvin memberanikan diri mengucap kalimat pengantar yang begitu indah untuk Khadijah. Arvin tinggal menunggu jawaban dari Khadijah.

Khadijah berdiri dan bersiap menjawab permintaan Arvin. “Insha Allah, aku bersedia.” kalimat singkat, namun penuh makna dan mampu mengubah suasana menjadi selimut kebahagiaan di antara dua keluarga besar yang menyaksikan.

Arvin tersenyum bahagia sembari mengucapkan alhamdulilah dan langsung memeluk ayah dan ibunya. Kemudian, lewat ibu Arvin yakni Aminah, Khadijah di pasangkan cincin pertunangan di jari manisnya. Setelah itu, kedua keluarga berdiskusi perihal tanggal pernikahan Arvin dan Khadijah.

“Berhubung Khadijah hanya mempunyai jatah libur kuliah selama 1 bulan, maka lebih baik pernikahan di langsungkan sebelum putri saya berangkat ke Korea. Dan Arvin… kamu ga keberatan kalau Khadijah di Korea?” tanya Firman.

“Ga kok pak. Insha Allah nanti komunikasi tetap jalan. Lagian kan, sayang kalau Khadijah berhenti kuliah. Insha Allah, dua tahun ga lama kok pak,” jawab Arvin dengan pikiran positif.

“Alhamdulilah. Nah, bagaimana dari Pak Herman untuk tanggal pernikahannya?” tanya Firman pada ayah Arvin.

“Agar mereka juga banyak waktu untuk berdua setelah pernikahan, bisa selang minimal 2 minggu sebelum keberangkatan Khadijah ke Korea, bisa dilangsungkan akad.”

“Berarti 2 minggu dari sekarang ya?”

“Iya Pak Firman.”

“Saya sih setuju saja. Bagaimana menurut Khadijah dan Arvin? Keberatan?” tanya Firman meyakinkan.

“Ga kok yah,” jawab Khadijah, dan Arvin yang menggeleng dengan senyuman manisnya.

“Alhamdulilah, berarti kita sepakat hari pernikahan Arvin dan Khadijah 2 minggu dari sekarang yang akan dilaksanakan pada hari sabtu. Untuk akad bisa di masjid lokasi rumah ini dan untuk resepsi, insha Allah keluarga saya bisa mengurus,” ujar Firman.

“Oke, boleh pak. Kalau ada apa-apa, tolong kabari keluarga kami saja,” jawab Pak Herman.

“Iya. Resepsi diadakan sederhana saja, bukan begitu?”

Pernyataan Firman mendapat respon anggukan dari keluarga besar dan tokoh masyarakat beserta ustad yang hadir. Sementara Khadijah, jantungnya masih berdegup kencang dengan terus tersenyum malu-malu sembari terus mengelus dan memandangi cincin yang sudah melingkar di jari manisnya, tanpa sadar dirinya melupakan perasaan orang lain yang tengah menunggu cintanya juga di Korea.

TRUE LOVE [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang