28 Januari 2018
Honey, begitu sapaan gadis delapan belas tahun yang sedang sibuk menarik dua koper besar dengan beban masing-masing 20 kilogram. Ia tak tahu harus merasa bersyukur akhirnya menginjakan kaki di Bandara Internasional Kuala Lumpur atau menangis karna ada di tempat asing pada pukul 12.35 pagi dengan dua koper, satu ransel, dan sendiri. Tanpa ada teman yang membantu terlebih menjemput untuk mengantar ke asrama kampus barunya.
Sebenarnya wajar saja mengingat Honey adalah mahasiswa asing yang baru akan memulai perkuliahannya tiga hari lagi. Tentu ia belum punya teman atau siapapun yang bisa menemani. Sedang orang tuanya, memang Honey sendiri yang melarang ikut mengantar sampai Malaysia.
Maksudnya, untuk apa? Ia sudah cukup besar untuk menjaga diri, tidak perlu merepotkan orang tuanya. Sudah cukup Honey merepotkan dalam segi materi.
Gadis itu menoleh kesana-kemari, menelaah setiap wajah para sopir taksi yang rata-rata terlihat menyeramkan. Banyak di antara mereka menawarkan jasa taksinya dengan aksen aneh pada Honey, tapi gadis itu lebih memilih tersenyum sopan seraya menggeleng. Ia sudah bertekad untuk naik taksi online atau bus.
Bukan apa-apa, ia hanya takut. Biasanya sopir taksi akan mematok harga diluar kemampuan kantong mahasiswa jika mengetahui penumpangnya adalah orang asing, tak peduli pelajar atau turis. Terlebih jarak dari bandara ke asrama barunya sangat jauh, sekitar 1 sampai dengan 1.5 jam perjalanan.
Ah, tidak. Bahkan untuk membayangkan berapa lembaran Ringgit yang harus berpindah tangan jika ia nekat menggunakan taksi malam ini saja Honey tak sanggup. Apalagi benar-benar melakukannya, ia bisa pingsan duluan sebelum argo taksi hasil korupsi itu diucapkan si sopir.
Naasnya, lewat tengah malam seperti ini tidak mungkin ada taksi online. Tidak juga dengan bus, mereka terakhir beroperasi pada pukul 11 malam.
Ada sih senior mahasiswa Indonesia yang Honey tau, beberapa dari mereka bahkan pernah membantunya mengurus berkas-berkas. Tapi sangat tidak sopan kalau minta tolong menjemput pada waktu seperti ini, terlebih mereka pasti sedang sibuk mempersiapkan acara penyambutan mahasiswa Indonesia baru.
Jadilah Honey hanya bisa menelan keapesannya.
Langkah kakinya berjalan gontai menuju area dalam bandara lagi. Sesekali ia berhenti untuk merentangkan tangan yang mulai pegal akibat menarik beban dengan total 40 kilogram. Wajahnya tercetak jelas raut lelah, matanya sayu menahan kantuk, pun bibirnya sedikit pucat karna lipstik yang ia gunakan sudah lenyap tak tersisa.
Bandara Kuala Lumpur memiliki banyak toko dan restoran cepat saji. Tapi lagi-lagi waktu ketibaannya sangat tidak mendukung. Hampir semua sudah tutup, paling hanya tinggal Seven Eleven, Circle K, McD, Starbucks, dan sebangsanya.
Dengan teramat pasrah, Honey memilih beristirahat pada kedai yang paling dekat dengan tempatnya berdiri, sudah tak sanggup lagi berjalan jauh.
Lewat tengah malam, hanya ada Honey, seorang pegawai, dan seorang pengunjung bermasker di dalam kedai. Kulitnya putih bersih, rambut mengintip dari bagian kepala yang tak tertutup topi menunjukan warna dirty blonde, duduk bertopang dagu sembari memandang layar ponsel. Kalau Honey melihat ada koper atau minimal ransel yang orang itu bawa, ia pasti sudah berpikir mereka sama-sama penumpang pesawat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dramaturgy
Teen Fiction[ COMPLETE ] Menurut teori dramaturgi, kehidupan manusia tak ubahnya seperti panggung sandiwara. Mereka punya peran masing-masing untuk ditampilkan ke khalayak. Tak terkecuali dengan Kenzie. Dalam panggung sandiwaranya ia harus kembali berperan se...