Kepala Rere terasa berat. Meski ia yakin matanya masih terpejam, cowok itu merasa sedang bermain ontang-anting di Dufan. Semuanya berputar.
"Ini anak nggak mungkin mati kan?"
"Kagaklah bego, itu masih napas!"
"Ya kali aja dia mati suri."
"Kebanyakan nonton film hidayah lo, Ye."
"Udah woy, ini Rere sakit lo pada malah berisik."
Perasaan terakhir kali Rere mendengar suara manusia tidak seperti ini. Vokalnya lembut dengan nada-nada manja yang turut ikut. Bukan seperti suara bapak-bapak terlebih cempreng.
Karna tidak tahan dengan kebisingannya, mata Rere perlahan terbuka. Ia mencoba menyesuaikan cahaya kamarnya sebelum akhirnya melihat wajah bodoh teman-temannya.
"WOY ASKA! RERE BANGUN NIH!"
"IYA SINI WOY, KITA APAIN NIHH?"
Rere mengerang mendengar teriakan Ceye dan Brian yang tak ada gunanya sedikit pun untuk proses penyembuhannya.
Kadang Rere bingung, kenapa bisa Ceye mengurus Caca yang begitu lost-nya, begitu sakitnya. Ceye loh, cowok yang barusan teriak di depan orang sakit berasa suaranya itu tidak menggelegar. Ceye juga tak bisa mengurus orang sakit, walau hanya flu. Tapi mungkin kekuatan cinta yang membuat dia menaklukan cewek terjutek yang pernah Rere temui.
Brian juga, ceweknya psikiater, kalem, cantik, pintar. Lihat kelakuan dia. Memang cocok mungkin, orang gila pacaran dengan psikiater. Sekalian berobat gratis.
Aska tiba-tiba saja berlari dengan sebuah panci yang biasa Rere gunakan untuk memasak mie dan handuk di pundaknya, membuat si empunya apartemen semakin tak habis pikir. Terlebih saat wajah paniknya berangsur-angsur mendekat.
"Re, ini angka berapa?" tanyanya sembari menunjukan Rere dua jarinya, digoyang-goyangkan pula.
Dia gila? Rere cuma pusing bukan buta!
Tangannya tentu ditepis sebelum Rere mencoba duduk dengan bantuan Aska.
"Masih pusing, Re?"
"Dikit," jawab Rere sambil memijat pelipisnya sendiri. "Ngapain pada di sini?"
"Sabtu pagi adek tingkat lo si... Hani kalo nggak salah nelfon gue, katanya lo sakit dan gue disuruh ke sini secepatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dramaturgy
Teen Fiction[ COMPLETE ] Menurut teori dramaturgi, kehidupan manusia tak ubahnya seperti panggung sandiwara. Mereka punya peran masing-masing untuk ditampilkan ke khalayak. Tak terkecuali dengan Kenzie. Dalam panggung sandiwaranya ia harus kembali berperan se...