•
•
•
•Ada sebuah rumah kecil di belakang bangunan apartemen Ceye. Di pinggiran kota Kuala Lumpur yang banyak dihuni oleh orang-orang Indonesia yang mengadu nasib di Negri Jiran Malaysia. Dulu rumah itu tak berpenghuni, terlihat kotor juga berantakan. Pemiliknya kembali ke Indonesia karena bisnis keluarga yang mereka geluti beberapa tahun terakhir tidak berakhir baik. Membuat mereka terpaksa menjual rumah itu dengan harga murah demi mendapat pundi-pundi Rupiah untuk kelanjutan hidupnya di Indonesia.
Lalu EastCape menemukan rumah itu. Mereka membelinya, mengubahnya menjadi sebuah mini studio yang sederhana. Menjadi ruangan kecil yang nyaman dan selalu menjadi tempat mereka menghabiskan waktu. Tempat awal mula band bernama EastCape menghasilkan karya-karya indah, awal mula mereka memulai persahabatannya.
Rumah itu selalu ramai. Selalu. Meski kegiatan kuliah lambat laun merusuh jadwal nongkrong mereka (yang dilakukan setiap hari, tentu saja), rumah itu selalu terisi. Bangunan yang awalnya menjadi tempat EastCape berlatih kelamaan jadi tempat mereka tidur, bercanda, mengerjakan tugas, menonton film tak senonoh, dan hal-hal tidak guna lainnya.
Tapi waktu terus berjalan, yang sama tak bisa selamanya sama. Yang beda tak tentu bisa terus berbeda.
Bangunan kecil itu kini memang masih diisi oleh 4 pemuda. Namun, sudah hilang tawanya. Sudah hilang bahagianya, dan sudah hilang melodi-melodi indahnya. Tergantikan senyap, sunyi mematikan yang membuat setiap dada para penghuni sesak bukan main.
Rere bersandar dekat dengan keyboard kesayangannya, tangannya bersedekap dada dengan mata memincing tajam ke arah tuts putih-hitam di hadapannya. Ada satu hal yang ia ingin lakukan saat ini, melempar keyboardnya pada Ceye dan Brian.
Suara helaan napas Aska tiba-tiba terdengar, lalu vokalnya yang biasa nyaring itu berubah parau, mengganti kesunyian studio. "Jadi... lo mau EastCape istirahat.."
"Iya. Sebentar," balas Ceye yang sedang memangku gitar listriknya. "Lo pada juga harus fokus sama kuliah dulu. EastCape sebaiknya break sampai... sampai kalian lulus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dramaturgy
Teen Fiction[ COMPLETE ] Menurut teori dramaturgi, kehidupan manusia tak ubahnya seperti panggung sandiwara. Mereka punya peran masing-masing untuk ditampilkan ke khalayak. Tak terkecuali dengan Kenzie. Dalam panggung sandiwaranya ia harus kembali berperan se...