10

172 52 6
                                    

Keadaan ruang tengah masih terang benderang padahal sudah pukul 11 lewat. Kemungkinan besar Zara menunggunya. Dugaannya benar. Gadis itu tertidur di sofa dalam posisi duduk. Sangat tidak nyaman.

Lama Malik menatapnya, sebelah tangannya terangkat menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Zara. Semarah-marahnya Malik, ia tak akan tega melihat Zara seperti itu. Malik memindahkannya ke kamar. Pasti tubuhnya akan sakit kalau tidur di sofa. Setelah itu ia pergi ke ruang kerjanya. Ia akan tidur disana untuk malam ini. Biarlah seperti ini dulu.

***

Zara menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya. Pandangannya menyapu seluruh ruangan. Seketika ia bangkit saat menyadari bahwa dirinya berada di kamar. Seingatnya terakhir dia menunggu Malik di ruang tamu. Apa mungkin Malik yang memindahkannya? Seketika pipi Zara menghangat membayangkan Malik menggendongnya.

"Hushhh apa yang aku bayangkan?" Zara menepuk-nepuk pipinya menyadarkan diri.

Diliriknya jam dinding sudah pukul setengah 7. Ia belum membuat apapun untuk sarapan Malik. Bergegas ia berlari ke dapur seraya mengikat rambutnya asal. Mengapa dia bisa setelat ini bangun?

Bersamaan dengan Zara keluar dari kamar, Malik juga keluar dari ruang kerja lengkap dengan pakaian kerjanya.

"Malik kau mau pergi kerja? Sepagi ini?"

Malik hanya berdehem sebagai jawaban.

"Tapi aku belum buat sarapan."

"Aku tidak sarapan."

"Tidak bisa. Tunggu sebentar aku akan membungkuskan sandwich untukmu."

"Kubilang aku tidak mau sarapan." Ucap Malik berusaha mengontrol suaranya agar tak terdengar membentak. Malik berjalan keluar rumah meninggalkan Zara.

Gadis itu tanpa menyerah mengikuti Malik hingga depan. Sampai depan Zara meraih tangan Malik dan menciumnya. Sejak semalam mereka menetapkan hal ini sebagai kebiasaan. Tapi hari ini berbeda, Zara tak mendapat kecupan di dahi seperti semalam. Tanpa sepatah kata Malik masuk kedalam mobilnya.

"Aku tahu kau pasti sangat marah padaku, Malik. Mungkin kesalahanku ini memang sulit dimaafkan bagimu. Aku juga tak akan memaksamu untuk memaafkanku. Tapi tolong jangan bersikap seperti ini, kau juga harus mengerti posisiku. Jangan terlalu menuruti egomu. Cobalah pikirkan perasaanku Malik." Zara mencoba tersenyum walau sedikit terpaksa. "Hati-hati." Setelah mengatakan itu Zara masuk kedalam rumah.

Malik terdiam mendengar penuturan Zara barusan. Ucapan Zara tadi telah menohok hatinya. Bagaimana bisa ia tak bisa memikirkan perasaan Zara saat itu. Mungkin saja ia merasa dilema memilih Malik atau Sandi dan keluarganya. Dan ia dengan mudahnya marah pada gadis itu.

Dengan perasaan berkecamuk Malik memijak gas dengan emosi. Baru beberapa meter ia menjauh dari rumahnya, matanya tak sengaja melirik ke spion dan melihat seorang kurir berhenti didepan rumahnya. Dengan mengendap-endap ia memasuki pekarangan rumahnya dengan setangkai mawar ditangannya.

"Oh jadi itu yang selalu mengirim bunga dirumah." Malik menghentikan mobilnya seraya menunggu lelaki itu keluar. Tak lama lelaki itu keluar lagi. Dengan sigap Malik memutar mobilnya kembali kebelakang, menghalangi jalan kurir itu.

"Siapa kau? Boleh kau buka helm mu?" Tanya Malik seraya menghampiri orang itu.

"Aku hanya seorang kurir."

"Bisa buka helm mu?" Ulang Malik.

"Anda siapa?"

"Saya pemilik rumah ini."

Dengan ragu kurir itu membuka helmnya.

"Jadi kau yang selalu mengirim bunga disini?"

"Iya pak."

"Siapa yang menyuruhmu?"

"Saya tidak bisa memberitahunya. Si pengirim mengatakan jangan memberitahu pada siapapun." Jelas kurir itu.

"Sadarkah kalian kalau ini membuat kami tidak nyaman."

"Maafkan saya. Saya hanya melakukan tugas saya."

"Sekali lagi kau mengirim bunga disini, aku tak segan-segan melaporkanmu ke polisi."

"Baik, pak. Saya pergi dulu kalau begitu."

Malik hanya mengangguk.

***

Selesai membersihkan rumah dan memasak buat makan siangnya, Zara bersantai di sofa sambil menonton drama korea dengan berbagai cemilan didepannya. Sungguh tak ia sangat tak bersemangat hari ini.

Pikiran tentang Rangga melintas di otaknya. Ia merasakan perbedaan antara Rangga dan Malik. Rangga memang orang yang tidak pandai bersikap romantis, tapi dia memiliki cara agar membuat Zara nyaman. Dengan tidak mencampuri urusan pribadi dan tidak terlalu mengekangnya. Baginya apa yang Zara lakukan pasti itu yang terbaik baginya. Sangat berbeda dengan Malik.

Air mata Zara menggenang membentuk sungai dipipinya. Rasa cintanya pada Rangga masih belum berubah sedikitpun walau dia sedang berusaha keras untuk melupakannya. Sejauh mereka berpacaran, tak pernah sekalipun bertengkar. Itu sebabnya mendengar Rangga memakinya saat lamara membuatnya sangat terpukul dan sakit hati. Tapi disatu sisi Zara merasa sangat pantas menerima itu.

Ponselnya dimeja berdering memaksa agar ia segera mengangkatnya. Fika memvideo-callnya. Dengan malas Zara menggeser tombol bergambar kamera tersebut. Tentu setelah ia menghapus jejak air matanya agar gadis itu tak curiga.

"Ada apa?"

'Bagaimana kau dengan Malik? Sudah baikan?'

Zara menggeleng lesu. "Dia sangat marah, Fika. Bahkan tadi pagi dia tak sarapan dan pergi kerja pagi-pagi sekali. Terlihat dia sedang menghindariku."

'Aku jadi merasa bersalah. Ini semua karenaku.'

"Tidak apa-apa. Dia memang seperti itu. Jangan khawatir, nanti juga kami baikkan."

'Oh iya kau bilang tadi Malik kerja?'

"Iya. Kenapa?"

'Dia kerja di hari sabtu?'

Zara mengerutkan dahinya bingung. Mengapa dia bisa lupa kalau sekarang hari sabtu. Dan berarti Malik berbohong padanya dengan mengatakan kalau dia mau kerja? Sesibuknya dia, tak pernah sekalipun ia kerja dihari sabtu atau minggu. Dan sekarang dia melakukannya karena ingin menghindari Zara.

"Mungkin dia sibuk."

'Mungkin juga.' Sejenak Fika terdiam sebelum ia memukul keningnya. 'Aku hampir lupa tujuanku menelponmu. Aku mau bilang kalau penyelidikan kasus pembunuhan Bos sudah ditutup.'

"Ditutup? Kenapa?"

'Aku tak tahu pasti. Yang kutahu keluarga Bos sudah ikhlas atas kematiannya, dan akan mencoba mencari bukti sendiri. Entah apa alasannya aku juga tidak tahu.'

"Aneh. Bukannya ibu Bos sangat bersikeras untuk menyelidiki kasus ini, kenapa tba-tiba ia berubah pikiran?"

'Entahlah.'

Seseorang melintas dibelakang Zara. Spontan gadis itu berbalik dan melihat Malik berdiri menjulang dibelakangnya. Dengan wajah datar dan kedua tangan disaku celananya.

"Malik kau sudah pulang?"

"Bungkus pakaianmu kedalam koper." Ucap Malik datar tanpa ekspresi.

"A-apa?"

***

A Whole New WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang