41

73 18 1
                                    

"Kata dokter hari ini kamu sudah boleh pulang." Ucap Malik sambil dengan telaten menyuapi Zara makan.

"Benarkah? Aku sudah sangat muak dengan bau obat disini. Pagi ini kita langsung pulang, 'kan?"

"Mungkin jam 10. Setelah aku menyelesaikan segala administrasi."

Zara mangut-mangut. Dia sangat merindukan rumahnya setelah 2 minggu lebih terkurung dalam ruangan serba putih ini.

Tiba-tiba dia teringat ucapan Anggi tadi malam. Kalau pulang dari rumah sakit, Zara harus tinggal dirumah mereka beberapa hari. Dan Zara mengiyakannya. Lagipula dia sangat merindukan sang ayah. Malik pasti tak akan melarangnya.

"Oh iya Malik. Aku sudah berjanji dengan kak Anggi kalau aku akan pulang kerumah ayah untuk beberapa hari. Boleh, 'kan? Tentu saja bersamamu juga."

Wajah Malik yang tadinya berseri tiba-tiba berubah datar saat Zara menyebutkan Anggi. Hubungan mereka akhir-akhir ini tidak baik. Lebih tepatnya Anggilah yang tak mau berbicara dengan Malik. Bahkan lelaki itu terang-terangan menyindir dan menatap Malik dengan tatapan jijik.

"Harus hari ini kah?"

Belum sempat Zara menjawab pintu ruangan Zara terbuka menampilkan Anggi disana dengan pakaian santainya.

"Kau sudah sarapan, sayang? Kakak baru saja membawakanmu bubur ayam kesukaanmu." Ucap Anggi seraya mengecup kening Zara. Dia bahkan tak melirik Malik sedikitpun.

"Aku sedang makan, kak." Zara yang merasakan ada aura berbeda antara dua lelaki didepannya sedikit beringsut kebelakang.

"Ah tak apa. Kau bisa memakannya nanti dengan kak Bila. Kau sudah membereskan barang-barangmu? Ayah dan Bila sudah menunggu dirumah."

"Sudah sejak kemarin kak." Zara melirik Malik yang menatapnya dan Anggi bergantian. "Malik, aku masih lapar." Ucap Zara sesantai mungkin walau dalam hati dia merinding melihat kakak dan suaminya ini.

Tanpa kata Malik kembali menyuapi Zara. Hingga makanannya habis Malik masih menampilkan wajah datarnya.

"Kakak sudah menyelesaikan administrasimu. Kita pulang sekarang?" Tanya Anggi meraih koper disebelah tampat tidur Zara.

Malik yang sedari kemarin menahan amarahnya menerima perlakuan Anggi. Kini sudah tak dapat menahannya lagi. Anggi sudah terlalu melewati batas menurutnya.

"Aku masih suaminya." Desis Malik tajam. Dengan kasar dia merampas pegangan koper Zara. Rahangnya mengeras menahan amarah.

Memang benar kalau kesalahan Malik ini cukup fatal bagi sebagian orang. Toh Zara juga sudah memaafkannya. Menurutnya Anggi terlalu dalam untuk ikut campur urusan rumah tangga mereka.

"Lelaki sepertimu tak layak disebut sebagai suami. Kau hanya akan menyakiti adikku. Kau cukup hebat masih bisa menunjukkan wajahmu setelah kau mengkhianati kami semua." Ucap Anggi tak kalah tajam. "Dan kuharap kau segera meninggalkan Zara secepatnya."

"Brengsek."

Dengan emosi berapi-api, Malik meninju wajah Anggi membuat lelaki itu terhuyung kebelakang. Serta darah segar mengalir dari sudut bibirnya.

Teriakan Zara menggema diruangan kedap suara ini. Malik tak menggubrisnya. Emosinya sudah berada diubun-ubun.

"Aku menghargaimu sebagai kakak iparku. Kuakui juga kalau kesalahanku ini sangat sulit dimaafkan. Kau menyindir, menghina, bahkan memukulku. Aku diam karena kutahu aku salah. Tapi jangan lupakan kalau aku sahabatmu, kita seumuran. Aku bisa membalas memukulmu kalau aku mau."

"Kau berhak marah dan membenciku. Tapi kalau untuk urusan aku meninggalkan Zara atau tidak. Kurasa kami tak memerlukan bantuanmu." Malik beralih menatap Zara yang sudah berlinang air mata dengan wajah ketakutannya. Tatapan Malik berubah lembut saat melihat Zara. "Kamu boleh pulang kerumah ayah. Aku akan tinggal dirumah kita. Aku pulang sekarang, ya."

Sepeninggalan Malik, Anggi dan Zara masih dilanda keheningan. Hanya terdengar sisa isak tangisan Zara.

"Maafkan aku, kak. Tapi Malik benar. Kakak terlalu mencampuri urusan rumah tangga kami. Aku sangat beruntung memiliki kakak lelaki yang sangat menyayangiku sepertimu. Tapi sadarkah, kalau kau juga menyakitiku dengan mengatakan tentang perpisahan."

Zara menatap Anggi yang kini menatapnya juga. "Kau tahu aku sangat mencintai kalian berdua. Tapi mendengar ucapanmu tadi, bukan hanya Malik yang sakit hati. Aku juga."

"Maafkan kakak."

"Aku ingin sendiri, kak." Zara membaringkan tubuhnya membelakangi Anggi.

Tak membantah Anggi meninggalkan ruangan Zara tanpa kata. Dia membuat masalah semakin rumit. Hanya karena ego tak ingin melihat adiknya sakit hati, dia malah semakin membuat Zara bersedih.

Dilorong rumah sakit tak sengaja dia berselisihan dengan Sandi yang sepertinya ingin mengunjungi Zara.

"Ada apa dengan wajahmu?" Tanya Sandi melihat wajah lebam Anggi.

"Tak apa. Tolong tenangkan Zara. Aku baru saja bertengkar dengan Malik disana."

"Baik, kak."

Sedikit berlari Sandi bergegas keruangan Zara. Benar saja. Gadis itu duduk meringkuk dengan bahu yang bergetar hebat.

"Zara..." Tanpa aba-aba Sandi membawa Zara kedalam pelukannya. Membiarkan gadis itu meluahkan semua tangisannya. "Menangislah."

"Kak Anggi meminta aku dan Malik berpisah. Aku mencintai Malik." Ucap Zara sesegukkan.

"Aku tahu. Tak usah pikirkan itu. Kesehatanmu jauh lebih penting daripada memikirkan hal tak penting seperti ini." Sandi menjauhkan tubuh mereka menangkup kedua pipi Zara lalu terkekeh. "Kau tak pernah cantik kalau menangis."

Zara menepis tangan Sandi semakin menekuk wajahnya.

"Kudengar kau sudah boleh pulang, 'kan?"

Zara mengangguk. "Sebenarnya aku ingin pulang kerumah ayah. Tapi aku sedang tak ingin melihat kak Anggi. Walaupun Malik sudah mengizinkanku."

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja? Nanti aku akan mengantarmu kerumahmu. Kau harus bicara dengan Malik. Dia yang lebih penting. Soal kak Anggi nanti aku akan bicara dengannya."

"Aku mau! Aku butuh melupakan sedikit masalahku. Aku akan menghubungi Malik dulu."

Zara mengirim pesan singkat kepada Malik. Tak perduli apakah Malik mengizinkannya pergi dengan Sandi atau tidak. Dia tetap akan pergi juga.

"Kita akan pergi ke pantai, 'kan? Aku merindukan ketenangan."

"Tentu tuan putri. Aku akan membawa kemanapun kau mau."

"Aku beruntung memiliki sahabat sepertimu. Oh iya bagaimana hubunganmu dengan Kezia?" Tanya Zara seraya turun dari tempat tidur dan berjalan beriringan dengan Sandi dari ruangannya.

"Tidak berjalan baik."

"Kenapa?"

"Aku putus dengannya."

"Bagaimana bisa?!" Tanya Zara kaget.

"Tak perlu berteriak seperti itu. Aku belum tuli. Nanti aku ceritakan dijalan."

"Baiklah."

***

Mheheh

A Whole New WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang