26

107 32 1
                                    

"Zara, ayo pulang!" Tiba-tiba Malik berada dibelakang mereka. Entah sejak kapan dia sudah berada disana. Jangan lupakan suara dingin Malik dan tatapan tajamnya.

Zara terkejut langsung bangkit dari posisinya seraya menghapus air matanya. Diikuti dengan Bila. Jujur Zara takut dengan tatapan Malik seperti itu. Cukup menakutkan.

"Malik kalau kalian ada masalah, tolong ceritakan baik-baik." Ucap Bila.

"Ini urusan kami, Bila."

"Dia adikku. Aku tak mau kau kasar padanya."

"Tapi dia istriku. Aku yang lebih berhak atas dirinya. Kau jangan ikut campur."

Bila sedikit emosi mendengar jawaban Malik. Syukurlah Zara cepat menahan tangan Bila seraya bergeleng. "Sudah kak. Aku akan mendengar saran kakak. Terima kasih untuk sebulan ini."

"Iya sayang. Kalau dia bersikap kasar lagi, katakan padaku. Tak perduli walaupun dia suamimu." Ucap Bila menampilkan wajah kesalnya pada Malik.

Zara hanya mengangguk dengan senyuman. "Tunggu sebentar. Aku mau ambil barang-barangku."

"Aku tunggu di mobil." Ucap Malik tetap dengan suara datarnya. Dia bahkan tak menyapa Bila.

***

Suasana sangat sunyi didalam mobil. Hanya terdengar deru mobil yang membelah jalanan yang tidak terlalu ramai ini. Tak ada yang berbicara sejak mobil mereka meninggalkan rumah. Zara menatap kearah luar sedangkan Malik fokus mengemudi. Sesekali Malik melirik kearah istrinya itu.

Malik membawa mobil dengan kecepatan diatas rata-rata. Teriihat sangat emosi. Itu yang dirasakan Zara. Syukurlah jalanan sedikit lenggang.

Entah apa yang membuatnya semarah ini. Bukannya dia lebih dahulu bercerita dengan Bila? Dia yang memberitahukan masalah mereka? Apapun itu, Zara akan mempersiapkan diri dengan luapan emosi Malik nanti. Mencoba lebih tenang dan sabar, seperti yang dikatakan Bila.

Tak memakan waktu lama untuk sampai dirumah mereka. Tanpa kata Zara keluar dari mobil Malik. Sebelum benar-benar keluar Malik sempat berkata padanya.

"Nanti selesai makan siang, ayo bicara." Zara hanya mengangguk bersamaan dengan mobil Malik yang meninggalkan pekarangan rumah mereka.

***

Malik menyeruput kopi yang baru saja dibuatkan Zara untuknya. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu. Zara sengaja mengambil posisi sedikit jauh dari Malik.

"Jelaskan apa yang terjadi sebenarnya." Ucap Malik sembari meletakkan gelas kacanya.

"Apa yang harus dijelaskan?" Tanya Zara pura-pura tak tahu. Dia tahu benar maksud Malik.

"Tentang malam itu."

"Baiklah. Hari itu aku benar-benar tak membawa ponsel. Aku tak teringat untuk mengabarimu dulu. Dan soal aku masih mencintainya atau tidak, kurasa kau sudah tahu jawabannya."

"Padahal dia hanya mantan kekasihmu, tapi mengapa reaksimu seperti itu kalau kau memang tak mencintainya?" Tanya Malik dengan tangan dilipat didada.

"Kau benar, dia hanya mantan kekasihku. Tapi setidaknya dia pernah menjadi bagian dalam hidupku. Seseorang yang cukup berharga bagiku. Mungkin aku akan bereaksi yang sama jika itu terjadi pada orang terdekatku." Zara cukup tersinggung mendengar ucapan Malik barusan. Walau bagaimanapun Ia masih punya otak untuk melihat mantan kekasihnya itu untuk terakhir kali. Cemburu Malik sangat tak berakal.

"Wah! Aku cukup cemburu."

"Aku sudah tak mencintainya lagi. Sungguh. Sedikitpun tak ada lagi rasa cintaku padanya. Mungkin aku hanya merasa bersalah sebab pertemuan terakhir kami kurang baik."

"Apa itu artinya kau sudah mencintaiku?" Malik mengangkat sebelah alisnya.

"Ah itu.." Zara menggigit bibir bawahnya gugup. Jantungnya berdegub ditatap Malik seperti itu.

"Sudah kuduga. Kau masih mencintai lelaki yang sudah mati itu." Malik beranjak dari duduknya diikuti oleh Zara. Dia takut Malik akan berpikir yang bukan-bukan lagi padanya.

"Aku mencintaimu." Ucap Zara lantang.

Malik yang hendak berjalan meninggalkan Zara kembali menoleh. "Benarkah? Aku tak percaya."

"Sungguh aku sudah mencintaimu sejak lama."

"Tapi mengapa reaksimu biasa saja saat melihatku pertama kali dirumah ayah. Tak ada raut bahagia atau pelukan hangat seperti harapanku?"

"Saat itu aku terkejut. Aku bahkan tak tahu kalau kau akan pulang."

"Kalau begitu sekarang peluk aku." Malik merentangkan tangannya membuat Zara melongo dengan ucapan Malik tersebut. "Kau tak mau? Tidak rindu heh?"

"Bukan begitu."

"Kalau begitu ayo peluk aku."

Lama Zara menatap mata Malik. Lelaki itu mengangguk meyakinkan. Perlahan Ia berjalan kearah Malik dan langsung ditarik dan didekap oleh lelaki itu. Zara hampir kehilangan oksigen karena pelukan Malik yang sangat erat.

"Aku sangat merindukanmu. Hampir gila rasanya. Tak mendengar suaramu sebulan lamanya. Aku rasa mau mati." Ucap Malik dengan kecupan-kecupan halus mendarat disekitar wajah Zara.

Butuh waktu untuk Zara menyesuaikan diri dengan perubahan sikap Malik padanya. Entah siapa yang semalam bersikap sinis dan dingin padanya. Kini dia kembali pada Malik yang sebelumnya. Hangat dan lembut.

"Kenapa sikapmu berubah hanya dalam beberapa jam?"

"Sebenarnya aku sudah tak lagi marah dihari kita bertengkar. Tapi saat aku kembali menghubungimu ingin minta maaf, nomornu sudah tak aktif. Berhari-hari ku coba tapi tetap tak bisa. Barulah kutahu saat Bila bilang kalau ponselmu rusak." Ucap Malik seraya memberi jarak antara mereka.

"Tidak rusak. Hanya kulemparkan hingga hancur."

"Kenapa sampai kau lempar ponselmu, sayang?"

"Aku tak bisa menahan diriku. Aku sangat kesal padamu. Coba kau bayangkan, dalam keadaan sakit, mendengar kabar Rangga meninggal, kau menuduhku yang bukan-bukan dan tak mau mendengarkan penjelasanku. Bahkan untuk menangis pun tidak kau izinkan. Rasanya aku sangat buruk dan ingin mati saja." Jelas Zara panjang lebar meluapkan semua yang terpendam selama ini.

"Maafkan aku, sayang. Sekarang kau bebas menangis sepuasmu. Memukulku sekuat tenaga pun akan kuterima. Asal itu bisa menebus kesalahanku." Malik mengayunkan-ayunkan tangan Zara memukul dada dan pipinya.

Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Malik lalu kembali memeluk tubuh suaminya itu. "Kau sudah membaik saja aku sangat bersyukur. Terima kasih, Malik."

"Akulah yang seharusnya berterima kasih." Malik melepas pelukan mereka dengan tatapan lembut nan mematikan bagi Zara. "Aku suka rambut barumu. Cantik."

"Apaan sih." Pipi Zara memanas mendengar pujian dari Malik. "Minggirlah, aku lapar."

"Aku tak diajak?" Tanya Malik mengerucutkan bibirnya, marah.

"Bukannya kau bilang tadi tidak lapar?"

"Keadaannya berbeda. Tadi aku sedang dalam keadaan marah. Aneh rasanya kalau aku langsung ingin makan. Harus jual mahal."

"Ya ya ya terserah kau saja. Ayo." Mereka berjalan beriringan dengan tangan yang terus bergenggaman. Seolah tak ingin terlepas lagi.

"Aku rindu masakanmu."

***

A Whole New WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang