8. RAHASIA

1.9K 192 72
                                    


"Jalan-jalan mencari beduk."

"Cakep!"

"Nyari beduk, sampe ke Paris."

"Mantep Bang.."

"Hati abang jadi dag-dig-dug, liat neng Uci yang paling manis!"

"Eaaaaa...." Seketika satu kelas langsung gaduh berkat ulah Bagas yang berpantun receh, merayu Uci. Si bendahara kelas yang doyan marah-marah karena uang iuran selalu ngaret.

“Satu lagi. Satu lagi." Bagas mengambil vas bunga kecil di meja guru, sambil berlutut di hadapan Uci. Ia berdehem kecil lantas berpantun. “Jalan-jalan—"

"Halah berisik! Jalan-jalan mulu enggak capek lo, huh?” sambar Uci, sudah mulai jijik dengan kelakuan Bagas. “Udah deh, lo enggak usah banyak ngerayu. Gue itu enggak level sama cowok yang doyan nunggak iuran kelas, kayak lo."

Satu-satunya siswa yang paling susah ditagih uang iuran, ya, cuma Bagas. Kalau ditagih dia selalu punya alasan untuk menghindar. Salah satu alasan paling klise level karatan yang paling sering dia gunakan, ya, 'lupa bawa uang jajan'. Padahal aku yakin sekali kalau tante Rani tidak pernah lupa memberikan uang jajan untuk Bagas.

"Ya elah, Ci. Baru juga dua bulan. Sekalian aja dah akhir semester gue bayar. Gue lebihin kalo bisa." Bagas berkata sombong.

"Enggak bisa! Pokonya besok lo harus bayar uang iuran. Tuh liat! sapu tinggal satu, pel patah jadi dua, serbet udah pada bulug.." Dan selanjutnya, Uci mengabsen satu persatu peralatan kelas yang sudah tidak layak pakai dari A sampai Z. "Ingat ya, besok harus lunas! Kalau enggak.." Uci menggantung kata-katanya, menatap Bagas dengan tatapan horor. "Gue sunat lo, sampai buntung!"

“Huuuh, pedas!” Timpal seisi kelas kemudian tawa mereka pecah.

Bagas menelan ludah menutup bagian bawahnya dengan tangan, "Iya, Ci. Iya,  besok gue bayar.”

Dengan cepat Uci menjabat tangan Bagas, "Deal!"

"Giliran duit aja, cepet. Dasar ponakannya Empok Mumun!"

"Dari pada elu, ponakannya Qorun, medit!"

“Emangnya elo enggak pernah belajar peribahasa? Medit pangkal kaya!”

“Emang bener-bener lo ya! Gue doain kuburan lo sempit!”

“Di mana-mana juga yang namanya kuburan tuh sempit. Kalo gede mah namanya hotel.”

Ya, begitu saja terus sampai salah satu di antara mereka kehabisan bahan saling mengolok. Uci akhirnya yang kalah, membuat Bagas tersenyum penuh kebanggaan berjalan ke arahku sambil bersenandung tidak jelas—mengeluarkan buku PR dari dalam tasnya.

Ada yang mengganggu pikiranku saat ini. Perasaanku mengatakan Bagas sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Perilakunya berubah (sangat terasa bagiku yang telah mengenalnya sejak kecil) setiap aku membahasnya ia selalu menghindar dan mengalihkan topik pembicaraan. Bagas sering keluar malam akhir-akhir ini. Kuketahui dari tante Rani yang merasa kalau Bagas punya pergaulan tidak sehat di luaran sana.

"Gas?"

Bagas menoleh sekilas, lalu kembali lagi pada buku catatannya, "Iya, Tar kenapa?"

Dia dan Ilusiku [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang