19. TARUHAN

1.6K 137 46
                                    

Author Note : Vote sebelum membaca.



Malam ini Ibu harus pergi ke Banjarmasin menemani Papa Ari. Padahal, baru tadi sore mereka pulang dari Palangkaraya perihal bisnis. Yah, kalau tidak ada Bagas, mungkin selama ini aku sudah mati kesepian karena terlalu sering ditinggal. Beruntung aku tidak suka mencari masalah atau berdebat dengan orang tuaku, sekiranya ada uneg uneg kekesalan aku cukup menyimpannya dalam pikiran atau bercerita dengan Bagas. Bagas selalu bisa membuat setidaknya satu celah kosong dalam hatiku terisi. Dia pendengar yang baik untuk semua keluh kesahku.

Malam ini saja contohnya. Karna aku mengeluh gabut, dia langsung datang ke rumahku, mengajakku berkeliling kota dengan sepeda motor bebeknya yang jadul. Ya, meskipun jadul, aku selalu merasa nyaman duduk di boncengannya.

"Di stadion lagi ada pasar malam. Lo mau ke sana nggak?"

"Nggak. Gue mau ke Borneo aja." Borneo itu salah satu warung Bakso yang ada di Kuala Kapuas, letaknya di jalan Jawa, dekat perempatan lampu merah, tidak jauh dari stadion—kalau suasana hatiku sedang tidak baik, biasanya aku memilih untuk makan sesuatu yang berkuah. Dan Bakso adalah pilihan yang tepat. Sensi hangat, apalagi ditambah cabe yang membuat tubuh berkeringat sehabis makan mampu mengusir setidaknya emosiku yang tertahan.

Sampai di Borneo, kami memesan tiga porsi bakso yang dalam lima belas menit kurang langsung diantarkan ke meja kami. Seporsi untuk Bagas dan dua porsi khusus untukku. Kalau moodku sedang berantakan, porsi makanku jadi lebih banyak. Syukurnya aku tidak perlu takut gemuk karena sejak lahir aku sudah dikutuk jadi cewek body goals.

"Kalau lagi makan banyak begini, pasti lagi ada masalah kan?" Bagas menatapku, entahlah setiap kali dia menatapku serius seperti itu aku merasa sangat disayangi. Aku merasa seperti punya saudara laki-laki yang begitu perhatian dan mengerti. Meski terkadang aku juga kesal karna sifatnya yang seperti ini tidak bertahan lama.

"Lo tahu lah, Gas, nggak perlu ditanya lagi. Udah bisa ditebak hidup gue gimana." Setelah ayahku meninggal memang semuanya jauh berbeda 180 derajat.

"Kan udah gue bilang, nggak perlu dipikirin. Ambil positifnya aja, toh, lo nggak sendiri juga. Ada gue, kan?"

Aku mengunyah baksoku sebentar lalu menanggapi perkataannya. "Gue juga pengin, Gas, punya waktu sama Ibu. Kayak elo sama tante Rani." Bohong kalau kubilang aku baik-baik saja tanpa perhatian orang tua. Sedikit banyaknya sebagai anak, aku butuh yang nanya perhatian kecil meskipun cuma bertanya bagaimana sekolahku atau apa aku sudah sholat atau belum. Hal-hal kecil yang sudah hilang sejak kepergian Ayah.

"Ya, lo sering-sering lah ke rumah gue. Mama gue kan, Mama lo juga."

"Ntar gue dijodoh-jodihin lagi sama lo."

Tante Rani memang selalu ingin aku menjalin hubungan dengan Bagas. Meski terkesan bercanda, tapi sebagai perempuan aku punya feeling kalau ada keseriusan yang terselip dibalik bercandaannya.

"Emang lo nggak mau, kalau suatu saat pacaran atau nikah gitu sama gue?"

Seketika itu juga aku tersedak kuah Bakso. Beberapa orang langsung memusatkan perhatiannya padaku, Bagas dengan sigap mengambil air untukku dan menepuk-nepuk pundakku. "Makanya, makan tuh pelan-pelan jangan kayak lagi balapan."

"Gara-gara elo nih. Apaan coba nanya-nanya gitu? Lo udah tahu lah, kalau gue nggak bakal mau punya suami kayak lo. Bisa gesrek ntar keturunan gue kalau papanya kayak elo."

Dia dan Ilusiku [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang