34. KEPING TERAKHIR.

1.6K 123 29
                                    

Author note : Vote sebelum membaca ya ♡ spam komennya dong .




//Tidak selalu ada pelangi selepas hujan, tapi selalu ada mentari di atas sana. Walau dia tertutup awan namun, masih bisa memberi kehangatan//







Masih di pelukan Nando, ponselku mendistraksi, melepas pelukan eratnya dariku.

"Hape kamu bunyi," katanya, pakai aku-kamu. Sedikit canggung, tapi aku suka.

Menyeka sisa air mata, kulihat panggilan telepon dari Bagas. Kuabaikan saja, kupikir itu tidak penting disaat seperti ini.

"Bagas?" Aku mengangguk. "Kenapa nggak dijawab? Siapa tahu penting."

"Palingan mau tanya tugas." Suruh siapa tadi tidak masuk sekolah. Sok-sok'an sakit pula. Dasar modus.

"Aku tahu teman kamu itu bukan orang yang peduli sama tugas. Kalau nggak penting dia nggak akan telepon sampai berkali-kali." Benar juga sih, lima kali berturut-turut dia menghubungiku. Dia tidak pernah spam call seperti ini. Kuangkat panggilannya yang kesekian kali, menempelkan ponsel di telinga.

"Hallo."

[.......]

***

Koridor rumah sakit terasa sangat panjang menuju ruang ICU. Bayangan-bayangan mengerikan bermunculan di kepalaku. Segala macam ketakutan mulai menghantui. Salah satu ketakutan terbesarku adalah kehilangan orang yang aku sayangi. Sudah cukup kehilangan Ayah, aku tidak mau kehilangan Ibu. Diikuti Nando, aku berlari menghampiri Bagas dan Tante Rani yang menunggu di depan ruang ICU. Namun, pemandangan memuakkan membuatku berhenti, menatap laki-laki yang keluar dari ruangan dokter dengan mata sembab.

Dia menatapku, membuat tubuhku memanas. Secara refleks kakiku berjalan menghampirinya.

"Puas 'kan? Puas Papa Ari bikin Ibu aku sakit? Senangkan Papa sekarang?" Persetan! Orang-orang memandangku kurang ajar, melabrak orang yang lebih tua. Aku sudah tidak tahan. "Sekarang Papa bisa lebih leluasa selingkuh sama pelacur-pelacur itu. Apa? Papa nggak usah drama sok-sok nangis. Tangisan Papa itu nggak sebanding sama tangisan Ibu aku pas tahu kalau Papa selingkuh!"

"Tar, udah, kamu tenang dulu." Aku tak mau menghiraukan Nando. Aku sudah berada di puncak kemarahan. Seperti gunung merapi erupsi, siap menyemburkan lava panas yang meluap-meluap. "Ini rumah sakit, Tar."

"Aku nggak peduli! Kamu nggak usah ikut campur!" Kutepis tangannya cukup keras, membuatnya mundur.

"Lo apain Ibu gue? Kenapa Ibu gue bisa kritis? Lo mau bunuh Ibu gue? Iya?!" Aku tak terkendali, meracau. Tak lagi memanggilnya dengan embel-embel Papa. Beberapa perawat mendatangiku, meminta agar tidak membuat keributan. Tante Rani berusaha menghentikan, begitu pun Bagas. Tapi aku takkan pernah berhenti sampai aku puas meluapkan kemarahanku. Aku tahu dia dalang dari semua ini. "Harusnya Ibu benci sama lo. Harusnya Ibu sadar kalau lo itu cowok brengsek!"

"Tari, Stop!" Bagas berteriak, membentak. Seumur hidup tidak pernah satu kali pun dia membentakku. Menatapku tajam seperti itu. Marah. "Lo gila huh? Lo nggak waras? Iya? Lo nyalahin Om Ari seolah lo yang paling benar. Harusnya lo mikir kenapa nyokap lo masuk rumah sakit. Gara-gara lo! Dia kepikiran sama lo! Lo tuh egois. Dipikiran lo selalu elo yang merasa paling bener, yang paling disakiti. Seharian nyokap lo nyariin, ke sana-sini, khawatir lo kenapa-kenapa, tapi nyatanya apa? Lo malah asik-asikan pacaran sama dia. Egois! Kecewa gue sama lo!"

Dia dan Ilusiku [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang