24. ANTARA EGO dan LOGIKA

1.4K 154 38
                                    

A/N : Cara mengapresiasi itu mudah. Vote ⭐ sebelum membaca dan berikan komentarnya 💬






//Yang kita cintai justru yang paling dalam menancapkan duri. Yang kita percayai justru yang paling sering mengkhianati dan yang kita campakkan justru menanam obat kebahagiaan tanpa disadari//




Aku menopang wajah, dengan malas mencatat contoh soal di papan tulis. Bisa dibilang aku adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak suka pelajaran matematika. Boleh dicatat, kalau suatu saat kalian lupa dan menyuruhku menghitung akar, logaritma atau setigita, segiempat, segilima, segienam, segitujuh atau segi-segi yang lainnya. Aku tidak bisa.

Lima menit lagi istirahat. Huh, entah kenapa kalau pelajaran matematika, biologi, ekonomi, fisika dan kimia, jam seakan bergerak lambat. Seperti tidak bergerak malah.

Aku menguap lebar. Mendorong kursiku ke belakang, membuat suara berisik, mendistraksi ketenangan kelas yang adem ayem.

"Kenapa, Utari?" tanya Pak Bekti, menyorotku tajam dari balik kacamatanya.

"Saya mau izin ke toilet Pak."

"Oh, iya, silakan!" Aku tersenyum menang, menjulurkan lidah pada Bagas yang menatapku kesal. Kesal, karena dia tidak bisa mengikuti caraku untuk membolos disisa jam pelajaran. Guru-guru sudah khatam kalau Bagas yang melakukannya. Dua hari yang lalu ia mempraktikan, malah mendapat hukuman mengerjakan tugas fisika dari Bu Wardah.

Toilet.

Salah apa tempat itu, hingga dijadikan alasan setiap siswa malas sepertiku untuk membolos jam pelajaran. Izinnya ke toilet, perginya ke kantin. Yah, ibarat kata pdktnya ke aku jadiannya sama orang lain. Huh, nyesek kan? Pasti.

Aku bersenandung riang, menuju kantin paling ujung, khusus penjual makanan ringan; gorengan tahu-tempe, pempek, cilok. Jam istirahat biasanya kantin penuh, sesak kalau ingin memesan makan, harus antri. Kalau sekarang kantin serasa milik sendiri.

"Bolos ya, Neng?" tanya Bu Aminah to the point, mungkin karena belum mendengar bunyi bel istirahat.

"Enggak lah, Bu, saya anak teladan nggak mungkin bolos. Saya cuma istirahat duluan doang," jawabku sekenanya.

"Si eneng bisa aja. Nanti ketahuan Nak Nando bisa dimarahin loh, Neng." Nando memang terkenal galak dan suka berpatroli dijam-jam sempit menuju istirahat, karena saat itu banyak siswa yang juga suka modus dengan cara sepertiku. "Kalau dia marah-marah, Ibu suka ngeri."

Aku tersenyum tipis, mencelupkan cilok ke bumbu kacang pedas-manis, "Nggak takut saya, Bu. Saya sama Nando itu begini banget Bu..," aku mengaitkan jari telunjukku, tanda kalau aku dan Nando itu dekat. Bu Aminah tersenyum saja, kembali sibuk menggoreng tahu.

"Udah kenyang, Dek, makannya?"

Aku terperanjat, hampir saja tertelan tusuk cilok, untungnya nggak jadi. Aku lantas menoleh, "Elo, Kak, ngagetin aja."

Kak Linggar terkekeh, menarik kursi di sebelahku. "Bandel ya, Dek, belum istirahat udah di kantin aja," katanya diiringi tawa renyah.

"Gue udah izin," jawabku sekenanya.

"Masa?"

"Iya lah, tapi izinnya ke toilet, nggak ke kantin."

Dia dan Ilusiku [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang