#17 (Kurir Dadakan)

5 0 0
                                    

Park Jin Ah POV

"Sudahlah. Nanti juga dia pulang sendiri," ucapku sambil mengoleskan selai kacang pada roti.

"Benar-benar ya anak itu! Tidak ada otaknya!" Yu Jin masih mondar-mandir sambil memegang wireless. Tadinya ia sudah heboh ingin menghubungi seluruh teman Hyo Jin di kampus, tetapi jemarinya langsung berhenti setelah menekan angka nol, ia baru ingat kalau Hyo Jin tak pernah terlihat memiliki teman akrab selama di kampus. Lagi pula pelakunya sudah jelas. Hyo Jin pasti dibawa pergi L.Joe.


"Aku akan menyuruh James tanggung jawab." Dengan keras, Yu Jin meletakkan wireless itu ke meja makan, kemudian berlalu pergi begitu saja. Tak sampai lima detik setelahnya, terdengar suara pintu yang berdebum. Gadis itu hanya butuh waktu sekejap untuk menghilang. Aku tak tahu harus bertepuk tangan kagum atau malah memanggil pembasmi jin, dia benar-benar tidak normal.


Aku menghela napas. Sebenarnya sudah berapa lama mereka tinggal seatap? Ini bukan kali pertama Hyo Jin kabur-kaburan. Aku berani bertaruh dia akan pulang nanti siang. Yu Jin benar-benar hobi mendramatisasi keadaan.


Setelah selesai sarapan, aku mengunci semua pintu dan berangkat ke kantor. Aku berjalan dengan langkah berat, dengan perasaan terganjal, dengan hati tak tenang. Mungkin perasaan seperti ini akan terus menghantuiku selama bekerja. Rasanya aku ingin bersungkur dan berdoa pada Tuhan, aku tidak minta yang macam-macam, aku hanya berharap hari ini bisa kulalui dengan damai, tanpa teror dari Hani, tanpa pembulian dan tanpa kejadian buruk lain. Aku tidak masalah diberi tugas sebanyak apa pun, aku yakin bisa menyelesaikan semua itu asalkan tidak di bawah tekanan seperti ini.


Jika boleh jujur, sebenarnya aku mudah sekali stres. Yu Jin tak pernah tahu kalau desakannya soal mencari kerja sering membuatku menangis. Aku stres berat karena hal sesepele itu. Sepele? Tentu saja, ayolah, Yu Jin adalah saudara kandungku, sebenarnya aku hanya tinggal bicara baik-baik padanya untuk berhenti mendesakku dan aku yakin sebagai kakak dia akan mengerti. Tapi aku diam, aku tidak melakukannya. Dan sekarang, setelah aku mendapat pekerjaan, Seo Hani malah muncul dan menjadi sumber masalahku selanjutnya.


**********


"Ada yang bisa mengendarai motor di sini?" Aku baru meletakkan tas di meja saat suara panik itu terdengar. Seisi divisi marketing hanya memerhatikan pria berdasi itu sekilas lalu langsung kembali ke kegiatan awal mereka, sibuk sendiri-sendiri.


"Tolong, dong! Seluruh kurir mogok kerja dan demo di luar. Sedangkan kita harus mengirimkan surat pernyataan aktivasi kartu kredit untuk para nasabah sekarang juga. Kumohon, siapa pun."


"Kita ini divisi marketing. Tak ada hubungannya dengan itu." Suara lantang seorang pria muda berkacamata terdengar memenuhi ruangan, beberapa orang—termasuk aku—mengangguk setuju.


"Aku mengerti. Aku hanya meminta perwakilan satu orang dari setiap divisi. Ini benar-benar masalah gawat. Ayolah, satu orang saja." Mukanya terlihat pucat karena panik.


"Aku mohon," sambungnya lagi, dengan nada lebih memelas.

"Kurasa anak baru ini bisa." Salah satu dayang Hani yang sedang berjalan di belakangku tiba-tiba saja berucap tanpa dasar. Konyol! Apa-apaan dia? Kapan dia melihatku mengendarai motor? Bukan artinya dia salah, sebenarnya aku memang bisa mengendarai motor, tapi tetap saja dia harus menjaga mulutnya itu! Aku menoleh pada perempuan tidak tahu diri tersebut, lalu menoleh lagi pada pria berdasi di ambang pintu. Ia menatapku penuh harap, dan itu membuatku merasa benar-benar tidak enak.

Let Love LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang