#13 (Bullying)

9 1 0
                                    

Park Jin Ah POV

Apa semua karyawan baru selalu mengalami ini? Aku mengaduk secangkir kopi di atas meja pantri sambil menahan tangis. Rasanya aku bisa pingsan karena terlalu lelah. Aku harus menyelesaikan laporan yang belum tersentuh sama sekali sebelum jam tiga, tapi karyawan-karyawan di divisi marketing—divisiku—terus saja memberiku perintah yang aneh-aneh. Mereka menyuruhku membeli snack-rendah-kalori-bergizi-tinggi di supermarket, minuman diet, mengisi tinta printer dan terakhir membuat kopi. Padahal kan ada office boy, tapi tetap saja mereka kekeh menyuruh-nyuruhku.


"Ini kopinya, dua sendok gula." Aku meletakkan satu cangkir di meja Ahri Eonnie. Lalu berpindah ke meja-meja di sebelahnya sambil meletakkan minuman pesanan mereka satu per satu. Ada yang berbaik hati mengucapkan terima kasih, tapi ada juga yang malah mendumel menyebutku lelet. Semua ucapan mereka, baik itu ungkapan baik atau buruk, membuat telingaku berdengung sakit. Langkahku semakin tergopoh-gopoh. Aku benar-benar lelah.


Kopi panas terakhir masih berada di atas nampan yang kubawa saat dari arah berlawanan, Hani Eonnie dan dua dayang-dayangnya menabrakku, entah sengaja atau tidak. Cangkir itu berguling di pinggir nampan sebelum akhirnya terpecah belah di lantai, sementara cairannya yang panas tumpah mengotori kemeja putihku.


"Ya Tuhan, kau itu! Hati-hati, dong! Hampir saja tanganku kena kopi!" Hani menghardik keras. Aku meringis sambil menarik kemejaku sedikit ke depan, memeganginya seperti itu agar cairan panasnya tidak melulu menyentuh kulit perutku. Aku menatap ketiga gadis itu tak percaya. Mereka tidak lihat siapa yang lebih dirugikan? Jelas-jelas aku yang tersiram kopi, tapi kenapa malah mereka yang mengomel membabi buta? Aku mendengus dengan napas tertahan, sebelah tanganku mengepal.


"Kenapa? Kok mukamu begitu? Marah, ya? Tidak terima? Mau mengatakan sesuatu padaku?" Hani mendekatkan wajahnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Dia boleh bersikap sok kuasa pada siapa pun, ya.. siapa pun kecuali Park Jin Ah. Aku menggeram dan menarik rambutnya, membuat gadis itu berteriak kesakitan sebelum akhirnya berlutut meminta amp— "Heh! Kenapa diam saja? Kutanya sekali lagi, kau marah?" Hani mendorong dahiku dengan jari telunjuknya, bersamaan dengan lenyapnya khayalan irasional yang sempat memenuhi kepalaku. Gadis itu menarik wajahnya kembali sambil tertawa puas.


"Heh, anak baru. Lihat apa yang kau lakukan! Cepat bersihkan lantainya! Dan bajumu itu! Kau mau bekerja di Bank Swasta nomor satu di Korea dengan baju menjijikan itu? Benar-benar tidak sopan! Cepat buka!"


"A-apa?" Tanpa aba-aba, Hani dan dua dayang-dayangnya segera menarik kemejaku ke atas. Aku segera menepis tangan mereka semua dan mundur beberapa langkah. Situasi di divisi marketing siang itu menjadi sangat riuh. Semua karyawan keluar dari mejanya dan mengerubungi kami.


"Kau itu sudah berani menyentuh tanganku ya sekarang? Memangnya siapa sih kau ini? Karena Mino yang merekomendasikanmu di sini, kau pikir kau sangat istimewa? Sudah merasa superior? Bodoh, lalu sekarang mau apa? Kenapa tak membalasku? Ayo jambak aku kalau berani." Hani memiringkan kepalanya menantang.


"Kenapa tidak dijambak juga? Maumu apa sih sebenarnya? Ayo cepat menangis saja! Mungkin kalau kau menangis, Mino-mu itu akan datang. Sayang sekali yah kalian beda divisi. Kalau begini kan bos kemarin sore itu jadi tak bisa melindungi anak baru kesayangannya ini." Gadis itu bersedekap sembari memainkan nada bicaranya. Beberapa orang tertawa. Sebagiannya lagi tak sungkan meledekku habis-habisan.

Let Love LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang