Happy Reading ❤
Suara pecahan piring terdengar di mana-mana, kepingan beling berserakan di sudut ruangan. Seperti biasa suasana rumah Eza mencekam, membuat takut siapa saja yang mendekati ranah merah itu.
Mengapa harus menikah jika tak ada rasa cinta? Mengapa harus bersatu jika alasannya adalah kekuasaan? Sungguh konyol, kekanak-kanakkan.
Setiap malam hari, Eza dan Ara selalu mendengar keributan di rumah mereka, bukan rumah yang normal. Kadang mereka rindu keluarganya yang harmonis, keluarga yang sangat mementingkan kebersamaan. Tidak seperti sekarang, keluarga yang egois.
"Kak, mau ke mana?" tanya Ara saat Eza keluar dari kamar memakai jaket, seperti ingin pergi.
"Bukan urusan, kamu!" bentak Eza.
Ara bergeming. Ia takut tidak ada seorang pun yang akan menolongnya jika sewaktu-waktu dirinya terancam. Keadaan rumah sangat genting saat ini.
Prangg...
Suara piring yang menghantam tembok, membuat Ara menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangan. Air mata telah membasahi pipi, tubuhnya bergetar hebat. Ia hanya bisa duduk di sudut ruangan yang terhalang lemari, guna bersembunyi untuk melindungi diri.
Dilain tempat, asap mengepul membentuk awan-awan kecil yang keluar dari mulut Eza Dittoaga. Saat ini, laki-laki itu sangat frustasi memikirkan keluarganya yang hancur semenjak mamanya memutuskan untuk menikahi Ayah dari pacarnya—lebih tepatnya, mantan pacar.
"Mama memang selalu egois!" pekiknya. Sekali lagi, ia menghisap rokok lalu ia membuang asapnya secara perlahan.
"Pertama, mama menghancurkan keluarga kita!" teriaknya dengan membuang puntung rokok ke segala arah.
"Kedua, mama hancurkan hubunganku!"
"Lalu, apa yang akan mama lakukan lagi? Membunuhku?!"
"Arrrgggghhh" Eza mengacak rambutnya dengan frustasi.
Sebuah mobil berwarna hitam berhenti sekitar satu meter dari keberadaan Eza. Beberapa menit tidak ada seorang pun yang keluar dari dalam mobil itu.
Sampai seorang gadis membuka pintu mobil bagian penumpang, gadis berhijab yang anggun dan cantik.
"Kak, Eza?" panggilnya memastikan.
Sang empunya yang merasa terpanggil mendongakkan kepalanya. Laki-laki itu terlihat kacau dengan matanya yang memerah, belum lagi bau rokok yang menempel pada jaket laki-laki itu.
"Mau apa kamu ke sini?" sinis Eza.
"Kak Eza, ngapain malam-malam di sini sendirian?" tanya Naya dengan hati-hati.
"Bukan urusan kamu!"
"Sana pergi. Aku nggak butuh kamu!" usir Eza.
Tak ingin membuat Eza tambah marah, Naya memutuskan untuk pergi dari taman. Bukan Naya tak peduli dengan cowok itu, hanya saja Naya tak ingin terlalu ikut campur dengan masalah orang yang baru ia kenal.
Sebenarnya Naya khawatir dengan keadaan Eza yang sangat kacau, entah kenapa Naya memiliki rasa peduli yang begitu besar kepada Eza. Rasanya berbeda, melihat Eza yang kacau membuat hatinya sedih. Naya menyimpulkan bahwa ia hanya peduli sesama teman saja, tidak lebih.
"Siapa itu, Nay?" tanya mamanya setelah ia duduk di kursi bangian tengah.
"Teman, Ma."
"Sejak kapan kamu punya teman berandalan, Naya?" tanya Erwin—papa Naya.
Skak.
"Anu.. Pa. Dia kakak temanku, sekaligus ketua osis di sekolah." jawabnya setenang mungkin.
"Dia sepertinya bukan orang baik."
"Jangan lihat orang dari sampulnya saja, Pa. Papa nggak boleh su'uzon."
"Pokoknya, kamu nggak boleh dekat-dekat sama dia lagi!" putus Erwin final.
Apa salahnya jika berteman dengan orang yang berpenampilan awut-awutan? Apa ada di dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa tidak boleh berteman dengan berandalan? Papa salah, dia orang baik meskipun penampilannya seperti itu, batin Naya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijaber [SEGERA TERBIT]
SpiritualJika merelakan adalah cara terbaik, maka akan aku lakukan meskipun usahaku tak mendapatkan hasil yang terbaik untuk memilikimu. Jika kamu bukan jodohku, lantas aku bisa apa? Kehendak Allah SWT. tak akan pernah ada yang bisa menolaknya.