Hijaber 4

7K 374 3
                                    

Happy Reading ❤

Sudah pukul 7 kurang 10 menit Naya baru terbangun, itu artinya ia telat. Di Jogja, jam segitu jalanan sudah ramai dan padat sehingga jalanan agak macet. Belum lagi jika gerbang yang sudah tertutup rapat. Terpaksa Naya akan putar arah menuju kantor papanya saja, tak apa sekali-kali Naya ikut bekerja.

Naya berlari sekencang mungkin setelah ia turun dari mobil papanya, sampai-sampai ia tidak mencium punggung tangan pria paruh baya itu.

Yang benar saja, gerbang sudah tertutup rapat dan tidak ada satpam yang menjaganya. Saat Naya membalikkan badannya berniat untuk menghampiri mobil papanya, ternyata mobil berwarna hitam itu sudah tidak terlihat oleh indera penglihatannya. Mood Naya seketika hancur. Ia berjalan menjauhi gerbang itu untuk mencari kendaraan umum, tapi seseorang telah menghentikan langkahnya.

Suara yang tidak asing bagi Naya, suara yang pernah menerobos masuk ke gendang telinganya. Naya sempat berpikir itu adalah suara si ketua osis arogan itu. Segera ia membalikkan badannya, dan benar dia adalah si ketua osis.

Lagi-lagi jantungnya berdetak tak karuan, telapak tangannya berubah menjadi dingin dan berkeringat. Wajah cowok itu menyeramkan, membuat Naya bergidik ngeri.

Eza berjalan mendekat, memangkas jarak diantara mereka secara perlahan. Kedua tangannya dia selipkan disaku celananya, menambah kesan keren pada cowok itu. Naya menatap Eza takut-takut. Tidak ada satu pun murid-murid yang berkeliaran di luar, hanya ada kendaraan yang berlalu lalang, itu tandanya Eza tidak akan berani macam-macam kepadanya.

Semakin Eza mendekat, nyali Naya ciut seketika. Ia menundukkan kepalanya, menatap sepatu Eza yang berwarna hitam putih.

"Kamu telat?" suara bariton itu membuat napas Naya tercekat. Lututnya seperti ingin lengser dari tempatnya.

"Ma—maaf, kak," ucapnya bergetar.

"Kenapa selalu maaf, sih, yang kamu ucapin? Apa dengan kata maaf semua bisa selesai? Hm?"

"Tap—" ucapan Naya terpotong oleh kepergian Eza yang secara tiba-tiba, sepatu yang ia lihat tidak ada lagi di tempat semula.

"Mau masuk nggak?" suara itu berhasil menghilangkan keterpakuan Naya. Cepat-cepat Naya mendongakkan kepalanya seraya berlari kecil menuju gerbang.

Saat Eza masih menutup gerbang, Naya berlari untuk menuju kelas agar tidak ketinggalan banyak materi. Tapi langkah Naya terhenti saat seseorang menarik tas bagian belakangnya, membuat Naya hampir terhuyung ke belakang.

"Mau ke mana?"

"Ke kelas, kak," jawab Naya dengan polosnya.

Eza berdecak, tak mengira cewek di hadapannya ini sangat polos dan menyebalkan. Cowok itu membuang napasnya dengan kasar, Eza juga menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Kamu nggak tahu salah kamu apa?" Eza melipat tangannya di depan dada, menatap gadis di hadapannya lekat-lekat.

Naya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban dari pertannyaan Eza. Cowok itu semakin terkejut, ia membelalakkan matanya tak percaya.

"Astagfirullah," geram Eza. Gadis itu mengerutkan dahinya menatap Eza yang mengucapkan kalimat istigfar.

"Jadi, telat itu bukan kesalahan?"

"Salah, kak,"

"Yaudah kalau salah, berarti harus terima hukuman!" peringat Eza.

"Jangan, kak," protes Naya.

Eza benar-benar tak habis pikir dengan sikap gadis yang baru saja menjadi adik kelasnya di SMA Nusa Bakti. Eza meninggalkan gadis itu sebelum ia gila. Gadis itu bisa kapan saja membuatnya masuk ke rumah sakit jiwa detik ini juga.

Hijaber [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang