Hijaber 19

3.6K 207 2
                                    

Awalnya, Naya enggan untuk menghampirinya, Apa lagi dia bersama orang yang pernah bersemayam di hati, walaupun tak pernah memiliki. Bukan karena tidak suka dengan kedatangannya, hanya saja Naya takut perasaan itu kembali muncul ke permukaan tanpa permisi.

Walaupun kemarin ia sempat bertemu dengannya, tapi rasa takut itu masih menggerayanginya. Pasalnya, rasa itu sempat hampir timbul saat Fahim memberi kenyamanan setelah sekian lama ia tinggalkan.

Naya mengembuskan napasnya pelan untuk menenangkannya. Lalu, ia menghampiri kedua cowok yang terpaut umur tidak terlalu jauh itu. Senyum paksa tercetak di bibir mungil milik Naya.

Bingung. Bukannya Naya labil, hanya saja kedua orang itu membuat hatinya harus memilih, dan Naya tidak bisa melakukan itu. Baginya mereka bukan barang yang harus dipilih dan mengabaikan salah satunya.

Ia menelan salivanya susah payah saat Naya telah duduk manis di hadapan kedua cowok itu. Jantungnya berdebar sangat kencang.

"Nay, besok ke Alun-Alun kidul, mau nggak?" tanya Fahim.

"Mau ngapain, Mas?"

"Main lah. Ada pameran di sana." Kali ini bukan Fahim yang menjawab, melainkan Eza.

"Aku nggak nanya sama kamu," sinis Naya.

"Cuma kasih tahu."

"Nggak mau tahu."

"Nyolot amat," ucap Eza yang terus menatap ponsel yang di genggamnya.

"Kamu duluan."

"Awas kamu minta bantuan sama aku lagi kalau ada yang neror!"

"Neror? Maksudnya?" Fahim terkejut dengan kata 'teror' tersebut. Rasa khawatir merasukinya.

Naya bungkam, ia tak tahu harus bicara seperti apa. Sedangkan Eza hanya menatap Naya yang tak kunjung berbicara, akhirnya Eza memutuskan untuk memberi tahu soal teror-meneror yang dialami Naya. Mungkin, Fahim memiliki solusi setelah ia menceritakan kronologi yang sebenarnya, walaupun ia tak melihat kejadiannya secara detail.

Fahim mendengarkan kata demi kata yang meluncur dari bibir sepupunya itu. Lain halnya dengan Naya, justru ia bungkam dan enggan untuk bicara, sepatah dua patah tak ada yang meluncur dari bibir manisnya.

"Papa sama Mama udah tahu, Nay?" tanya Fahim yang langsung mendapat tatapan dari Eza.

"Idih, kok Papa, Mama sih panggilnya. Sok akrab banget!" protesnya.

"Emang udah akrab. Ya kan, Nay?" Fahim beralih seraya meminta persetujuan dari Naya.

Gadis itu hanya mengangguk membenarkan, sementara wajah Eza terlihat sangat kesal. Namun, senyum meledek tercetak di bibir tipis milik Fahim sehingga cekungan di pipi kirinya terlihat sangat jelas.

Fahim memukul punggung Eza agak keras, dan membuat sang empunya meringis kesakitan.

"Apa salahku? Udah hati sakit, terus punggung ditimpuk. Kenapa nggak sekalian bunuh adek?" Suara tawa terdengar dari bibir Naya saat Eza mendramatisir keadaan seolah-olah dirinya yang paling tersakiti.

"Dasar, kutu alay!"

"Yang penting bisa buat Naya ketawa."

Naya tersipu malu. "Kok kamu nggak cuek lagi kayak dulu?" tanya Naya yang ingin tahu mengapa terjadi perubahan dengan Eza.

"Nah lho. Jawab!" tuntut Fahim.

"Mungkin ada saatnya aku akan jawab," ucapnya dengan enteng.

"Idih, sok jual mahal!" sinis Fahim.

"Emang aku mahal."

Fahim hanya menanggapinya dengan decakkan.

Malam ini Naya tidak banyak berbicara karena pikirannya dan hatinya tidak sinkron.

"Nggak asik nih, Naya nggak banyak omong," celetuk Fahim yang langsung mendapat anggukan dari Eza.

"Mending kita pulang dari pada dianggurin."

"Maaf ya, Mas. Lagi nggak mood soalnya."

"Iya, wajar kok. Tadinya kita ke sini mau ngajak kamu jalan," ucap Eza.

"Yaudah, kita balik ya."

Setelahnya mobil yang digunakan kedua cowok itu tak terlihat lagi di garasi rumah Naya. Mobil itu mulai membelah kota Jogja dengan kecepatan sedang.

Hijaber [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang