Hijaber 30

3.4K 160 3
                                    

Happy Reading ❤❤

Sejak kejadian menyakitkan itu, Naya lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Kerjaannya hanya tidur, baca novel dan tadarus, itu saja. Makan, jika Naya ingat dan jika perutnya terasa lapar.

Pernyataan itu begitu mempengaruhinya, jika pengaruh positif tidak menjadi masalah, tapi ini adalah pengaruh negatif yang membuat otak Naya seperti rumus matematika yang beterbangan. Orangtua Naya kelimpungan, apalagi mamanya, bagaimana tidak melihat putri semata wayangnya yang berubah menjadi pemurung, tidak lagi terlihat Naya si gadis periang di kediaman Erwin Mahendra.

Berkali-kali Hanna mengetuk pintu kamar putrinya, namun tak ada jawaban. Mungkin Naya sedang tidur, pikirnya. Ia membuka pintu kamar Naya yang tidak terkunci secara perlahan, takut mengganggu tidur nyenyak putrinya. Setelah pintu terbuka lebar, Hanna tak menemukan Naya di tempat tidurnya, seketika panik menyerangnya.

"Nay," panggilnya seraya membuka pintu kamar mandi, namun hasilnya nihil.

"Naya," panggilnya lagi.

"Iya, Ma." Hanna mengelus dadanya saat mendengar sahutan dari putrinya itu, untung saja Hanna tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

Ia mengikuti arah suara putrinya, ternyata Naya sedang bersantai di balkon kamarnya seraya memakai headphone dan terdapat buku bacaan di tangannya.

"Naya, Mama kira kamu ke mana," ucap mamanya.

"Anaknya Mama ada di sini, kok," ujar Naya seraya menyunggingkan senyuman.

"Oh iya, Nay, ada yang mau Mama tanyain sama kamu." Hanna menarik kursi tepat di sebelah Naya. Ia menatap putrinya dengan tatapan penuh selidik.

Naya melepas headphonenya dan menutup novel yang sedari tadi menemaninya. "Ada apa, Ma?"

"Kamu kenapa?" tanya Hanna hati-hati.

"Kenapa apanya?" Bukannya menjawab, justru Naya bertanya balik pada mamanya.

"Kok nggak kayak biasanya?"

"Memang biasanya Naya kayak apa, Ma?" lagi Naya bertanya balik.

"Ih, kamu ini bukannya ngejawab malah tanya balik," kesal Hanna.

"Ya, habisnya Mama nanyanya nggak to the point, sih."

"Kamu kenapa murung? Terus kenapa Eza nggak pernah ke sini lagi, Mama juga jarang lihat kamu teleponan sama Eza. Ada apa?" Sekalinya disuruh to the point, Hanna malah melayangkan pertanyaan yang beruntun.

"Oh," balas Naya, kemudian ia mengambil kembali novel yang tadinya ia letakkan di atas meja. Bukannya Naya tidak sopan atau bersikap kurang ajar pada orang yang lebih tua, apalagi ini mamanya, tapi Naya malas jika ada seseorang yang menyinggung nama Eza di hadapannya, menurutnya Eza tak lagi penting. Eza hanyalah pemanis di masa lalu.

"Naya, Mama nanya," kelakar Hanna.

"Iya, Ma."

"Ya dijawab."

Naya meletakkan kembali novelnya yang tidak ia baca sama sekali, hanya untuk mengalihkan pembicaraan saja. "Hm ...."

"Jadi gini, Ma. Mama jangan salahin Naya atas ini semua, jangan juga salahin Eza atau siapapun setelah Naya ceritain semua sama Mama, tapi Naya mohon, jangan ceritain ke Papa karena Naya sudah janji sama Ara. Sebenarnya juga Naya nggak mau cerita sama Mama, tapikan Mama adalah orang yang sudah lahirin Naya, jadi Mama berhak tahu."

Hanna diam tidak merespons permintaan putrinya. "Janji ya, Ma?" pinta Naya dengan sorotan mata yang terlihat melas.

Hanna pun mengangguk walaupun ia masih ragu, ia khawatir jika cerita yang akan Naya beritahu adalah berita buruk.

Naya berdeham untuk mempersiapkan tenggorokannya dan juga mempersiapkan mental, mana tahu mamanya langsung nyerang Naya dengan segala pertanyaan, seperti kebanyakan ibu-ibu di luar sana.

"Jadi gini, Ma. Sekitar 2 minggu yang lalu Naya mau temuin teman SMA Naya, namanya Farida, kebetulan dia itu mau ke Jerman, nah sebelum berangkat dia mau titip sesuatu untuk Kevin teman Naya waktu SMA juga, kayaknya sih mereka pacaran, tapi nggak tahu deh. Terus Naya kan datang tuh, tapi Naya tunggu-tunggu dianya nggak datang malahan Ara yang datang. Ya sudah deh, Naya sama Ara ngobrol ...." Naya menjeda omongannya, Hanna pun tetap setia menunggu kelanjutan cerita putrinya yang kian membuatnya penasaran.

"Ara penyebab kecelakaan itu," lanjutnya to the point. Hanna mengernyitkan dahinya tak mengerti maksud pembicaraan Naya.

"Kecelakaan siapa?"

"Naya." Sontak Hanna melebarkan matanya terkejut atas pengakuan putri semata wayangnya. Sama halnya seperti Naya yang awalnya tak percaya, namun setelah Naya menceritakan bagaimana kronologinya Hanna tak dapat menahan emosinya.

Ia beranjak dari duduknya dengan emosi yang siap meluap, tapi sebelum ia benar-benar pergi, Naya mencekal pergelangan mamanya agar tidak meluapkan emosinya pada Ara dan Fahim, ia juga kembali memperingatkan mamanya untuk menjaga rahasia ini pada siapapun, tak terkecuali papanya.

Hanna menatap putrinya dengan iba, bagaimana bisa seseorang dengan tega menjahati Naya yang selalu bersikap baik dan sopan kepada siapapun hanya karena perihal rasa cemburu.

Cemburu itu seperti jarum dan benang yang digunakan tidak pada fungsinya.

Hijaber [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang