Hijaber 29

3K 156 5
                                    

Happy Reading ❤❤

Naya sibuk dengan benda pipih yang berada di genggamannya sembari menunggu pesanannya datang, ia terus menggeser layar dan melihat dengan seksama gambar di akun instagram miliknya. Gadis berhijab itu menyunggingkan senyuman saat iris matanya melihat foto kebersamaan Arifin dengan mamanya, terlihat sangat akrab dan penuh kehangatan.

Naya menyantap makanan yang ia pesan dengan sesekali membalas pesan masuk di ponsel. Terlihat begitu menikmati makanannya, tiba-tiba seseorang berdiri tepat di hadapannya, segera ia urungkan aksinya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya dan beralih pada seseorang yang telah menyita perhatian.

Ia terkejut saat melihat gadis yang tengah tersenyum padanya. Naya pun bangkit dari duduknya dan menyambut gadis itu dengan pelukan hangat untuk melepas rindu.

"Ara, dari mana saja kamu?" tanya Naya dengan perasaan yang sulit diartikan.

"Eh, ayo duduk dulu. Kamu mau pesan apa?" lanjutnya. Ara pun duduk di hadapan Naya dengan bibir yang masih enggan mengeluarkan suara.

"Ra."

Ara menatap Naya dengan senyuman. "Iya?"

"Kenapa sih kamu lepas hijab, padahal kan kamu cantik pakai hijab." Sudah lama sekali Naya ingin menanyakan hal ini pada sahabatnya yang ia kenal di masa mereka masih memakai seragam putih abu-abu, namun ia selalu mengurungkannya karena keadaan selalu tidak mendukung. Baru kali ini Naya memberanikan diri untuk bertanya secara langsung mengingat keadaan cukup mendukung.

"Ada sesuatu yang aku pengin omongin ke kamu, Nay." Bukannya menjawab pertanyaan dari Naya, Ara malah mengabaikannya dengan mengalihkan pembicaraan.

"Oke, tapi aku sambil makan ya, sedikit lagi juga habis." Naya tersenyum pada Ara yang membuat gadis itu semakin merasa bersalah atas apa yang pernah ia lakukan pada sahabat yang duduk di hadapannya.

Hening. Ara belum memulai pembicaraannya, ia harus memilah-milah kalimat yang baik agar tidak menyakiti Naya terlalu dalam, walau Ara tahu kejujurannya kali ini akan menyakiti Naya dan tidak bisa ditolerir lagi. Tapi, biar bagaimanapun Ara harus jujur karena sepintar-pintarnya kita menyimpan bangkai pasti baunya akan tercium juga, cepat atau lambat.

Naya menatap Ara yang tak kunjung memulai obrolan dengan tatapan penuh selidik. Ia melihat wajah Ara yang pucat dan terlihat ketakutan, Naya bingung apa yang telah terjadi kepada sahabatnya ini, apakah ada hal buruk yang telah menimpanya.

Sampai nasi di piring Naya telah habis, Ara masih tak kunjung bicara, ia sibuk memainkan jemarinya dan sesekali melihat ponselnya.

"Ra, ada apa sih?" tanya Naya setelah ia selesai menyedot orange jusnya hingga tandas.

"Hm ...."

Ara menelan salivanya susah payah. "Nay, maafin aku ya?" Akhirnya kalimat itu meluncur juga dari bibir merah jambunya.

"Maaf? Untuk apa, kamu kan nggak salah apa-apa, Ra."

Pandangan Ara mulai memburam, ia tak jelas melihat Naya yang berada di hadapannya, sekali saja ia berkedip pasti bulir air matanya akan jatuh. Ara meraih tangan kanan Naya dengan lembut menggunakan kedua tangannya.

Air mata yang menggenang pun akhirnya jatuh juga. Naya semakin bingung dengan sahabatnya ini.

"Ra, jangan buat aku khawatir." Nada suara Naya terdengar cemas. Ia meletakkan tangan sebelah kirinya di atas punggung tangan Ara dan mengelusnya lembut menggunakan ibu jari.

"Maaf ...."

Isakkannya terdengar semakin jelas, Naya pun menggeser kursinya ke samping Ara dan memeluk gadis itu.

"Kenapa? Cerita sama aku, kita kan sahabat, Ra," ucap Naya seraya mengelus punggung Ara.

"Please, Nay, jangan buat aku semakin merasa bersalah," ujar Ara dengan terisak.

Naya melepaskan pelukannya dan menatap sahabatnya itu, ia melihat kesedihan di mata Ara. Entah apa kesalahan Ara padanya yang membuat Ara seperti ini.

Kesalahan besar kah? gumam Naya dalam hati.

Hijaber [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang