Happy Reading ❤
Ara duduk di balkon kamarnya sembari membaca novel yang belum terselesaikan. Ia ditemani dengan sejuknya udara dan sinar matahari yang mulai berubah warna menjadi orange.
Saat ia menikmati bacaannya, suara ponsel menganggu aktivitasnya. Segera ia mengambilnya lalu menggeser tombol hijau dan ia arahnya ke telinganya.
"Apa? Naya sudah sadar?" Saking terkejutnya sampai-sampai ia berteriak, kemudian ia memelankan nada bicaranya.
"Kok bisa sih?"
...
"Lo kurang keras kali nabraknya. Bego banget sih lo!" maki Ara kepada lawan bicaranya.
...
"Gue nggak mau tahu, apapun yang terjadi, gue mau Naya nggak bisa dekat lagi sama Eza. Bukannya lo juga mau miliki Naya seutuhnya?"
...
"Ya makanya, urus itu semua. Kita akan sama-sama untung. Gue dapat Eza dan lo dapat Naya."
Sambungan telepon Ara putus secara sepihak. Ia mulai panik dengan kabar baik tentang keadaan Naya. Ia harus memutar otak lagi agar Naya tidak dapat memiliki Eza. Apapun caranya akan ia lakukan, ia tidak akan memandang siapa Naya dan siapa Eza. Yang ada di dalam pikirannya sekarang adalah memiliki Eza seutuhnya.
Ia menyambar sling bag yang berada di atas nakas. Ia menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, rambut sepunggungnya yang terurai mengikuti langkah Ara. Ya, kali ini Ara melepas hijabnya. Ia menjadi Ara yang dahulu sebelum mengenal Eza.
"Mau ke mana lo! Nggak pakai hijab lagi." tegur Eza.
"Bukan urusan kakak!"
"Hidup nggak pernah jelas!" pekik Eza, namun Ara hanya mengabaikannya.
***
"Nggak usah basa-basi. Apa rencana selanjutnya?" tanya Ara.
"Gue juga bingung, Ra. Yang jelas gue nggak mau Naya tersakiti lagi. Kita harus bermain dengan halus."
"Siapa juga yang mau nyakiti Naya. Kemarin kan emang lo nggak sengaja nabrak dia, nah daripada kebuang sia-sia mendingan kita gunain buat lancarin rencana kita," ujar Ara.
"Oh iya, btw lo sembunyiin di mana mobil lo?" lanjutnya.
"Di gudang belakang rumah gue," ucapnya sepelan mungkin agar tidak ada yang mendengarnya.
"Keren," puji Ara sembari mengaduk minuman yang ada di hadapannya.
"Iyalah. Siapa dulu, gue gitu lho," ucapnya berbangga diri. Keduanya terkekeh merasa puas dengan rencana keji yang telah dilakukannya.
"Apa dong rencana selanjutnya?" tanya Ara tak sabar.
"Nanti deh gue pikirin."
"Yang pintar ya kalau mikir." Ara terkekeh melihat laki-laki yang ada di hadapannya memutar bola matanya.
"Eh, Ra, lo belum jawab pertanyaan gue, kenapa lo lepas hijab?"
"Udah malas pakai hijab. Nggak bisa meluluhkan hati Eza lagi."
"Gila ya lo, hijab dipakai main-main. Kena karma baru tahu rasa lo."
"Diam lo! Nggak usah ingatin gue tentang karma," omel Ara. Laki-laki di hadapannya pun memilih bungkam, ia tidak ingin ribut dengan cewek keras kepala seperti Ara.
Ara berdiri, tangannya terulur ke udara memanggil pelayan. Ara memberikan uang setelah pelayan itu menghampirinya, kemudian ia mengambil sling bag yang berada di kursi yang kosong.
"Mau ke mana lo?"
"Mau pulang gue," ucapnya.
"Gue antar ya?" tawar laki-laki itu seraya mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja.
"Nggak perlu. Nanti Eza bisa tahu kalau kita ketemuan, lagian gue bawa mobil."
"Gue duluan, ya?" lanjutnya.
"Oke, hati-hati, Ra." pesan laki-laki itu. Tak lama dari kepergian Ara, ia memutuskan untuk pulang ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijaber [SEGERA TERBIT]
SpiritualJika merelakan adalah cara terbaik, maka akan aku lakukan meskipun usahaku tak mendapatkan hasil yang terbaik untuk memilikimu. Jika kamu bukan jodohku, lantas aku bisa apa? Kehendak Allah SWT. tak akan pernah ada yang bisa menolaknya.