Hijaber 18

3.7K 204 1
                                    

Sembari menunggu pesanannya datang, Eza memutuskan untuk menelepon sepupunya yang baru saja datang dari Jepang, Fahim. Rasa penasaran yang menyelimutinya, membuat ia tertarik untuk bertanya banyak hal tentang kedekatan Fahim dan Naya.

Bukan hanya rasa penasaran saja yang menyelimutinya, rasa cemburu juga berkobar saat melihat kedekatan sepupunya dengan gadis yang mampu menyita perasaan dan pikirannya.

Saat mendengar sapaan dari seberang sana, Eza mengembuskan napasnya perlahan.

"Halo?"

"Iya, halo. Maaf ganggu sebelumnya."

"Nggak papa, emangnya ada apa, Za?" tanya Fahim to the point.

"Aku mau bicara sama kamu."

"Oke. Di mana?"

"Blackbone Coffee, jalan Kaliurang, Sleman."

"Ya mana aku tahu. Kamu 'kan tahu sendiri aku udah lama nggak ke Jogja."

Eza memutar bola matanya malas mendengar penuturan Fahim.

"Yaudah, aku share location."

Eza memutuskan sambungan teleponnya, lalu mengirimkan lokasi tempat ia berada kepada Fahim.

Cukup lama Eza menunggu, sampai kopi andalannya telah kandas tak tersisa. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Fahim muncul dari balik pintu, ia mencari keberadaan Eza, langsung saja Eza melambaikan tangan agar Fahim menghampirinya.

"Susah amat tempatnya," protes Fahim yang baru saja datang.

"Bukan susah, kamu saja yang nggak tahu."

"Ada apaan sih emangnya kamu panggil aku ke sini? Kangen?" tanya Fahim dengan kekehannya.

"Jijay!"

"Idih, alay juga ternyata kamu." Tawa pecah saat itu juga. Fahim adalah orang yang dapat mencairkan suasana saat lagi tegang-tegangnya. Humornya yang tak seberapa, namun dapat membuat semua orang tertawa.

"Nggak lucu kampret!"

"Halah, nggak lucu tapi ketawa juga. lebih keras lagi."

"Nggak pernah waras!" celetuk Eza.

"Orang nggak waras membuat orang waras nggak waras. HAHAH."

"Ngomong saja masih belepotan."

"Sudah ah. Ada apa sih?"

"Kamu nggak mau pesan dulu?" tanya Eza dengan menyodorkan buku menu.

"Nanti saja."

"Yaudah. Jadi gini sebenarnya." Eza memperbaiki duduknya agar lebih nyaman untuk berbicara. "Kamu suka sama Naya?" tanyanya to the point.

"Ya nggak lah," sangkal Fahim. "Naya tu ya, temen aku dari kecil, jadi mana mungkin aku suka. Lagian umur aku lebih tua dari dia. Naya tu cocoknya sama kamu."

"Nggak mungkin. Persahabantan antara cewek dan cowok tu nggak ada yang murni. Bullshit kalau kamu bilang nggak suka."

"Lagian kamu sudah kenal sama Naya dari kecil, ya pasti ada lah rasa suka, apa lagi sayang," lanjut Eza yang terus mengorek informasi, berharap Fahim mengakui perasaannya.

"Belum tentu. Orang yang kenal lama juga belum tentu jodoh, nah orang yang baru kenal saja bisa nikah."

"Aku nggak ngomongin soal jodoh!" geram Eza.

"Oiya ya. Bego amat sih." Fahim terkekeh, tetapi membuat lawan bicaranya mendelik kesal.

Fahim menatap Eza penuh selidik. "Kenapa? Kamu suka sama Naya?"

Eza terkejut oleh pertanyaan yang meluncur mulus dari bibir tipis Fahim, dan mampu menyentil hatinya.

"Nggak usah sok kaget. Aku udah tahu. Kamu dijodohin 'kan sama Tante Fina?"

"Tahu dari mana kamu?" Eza menaikkan alisnya sebelah.

"Apa sih yang Fahim Bramantyo nggak tahu?"

"Iyain deh. Bra 'kan memang tahu segalanya," ledek Eza dengan kekehan.

"Kampret. Nama aku Fahim bukan Bra!" Fahim clingak-clinguk melihat sekelilingnya, takut ada yang mendengar ucapan dari Eza.

"Apa salahnya aku, 'kan memang nama kamu Bramantyo, jadi nggak salah dong kalau dipanggil Bra?" Eza meledek Fahim dengan mengerlingkan matanya sebelah kiri.

"Damare!" (Diam)

"Ngomong apaan, Bra?" pekik Eza yang membuat beberapa pasang mata memperhatikannya. Eza cekikikan melihat wajah Fahim yang memerah karena menahan malu.

"Sialan!" umpat Fahim.

"Bayar tu pesananmu, terus kita pulang. Bikin malu saja kamu."

Masih dengan kekehannya, Eza mengeluarkan uang berwarna biru dari dalam dompetnya. "Mas, ini ya uangnya. Matur nuwun." (Matur nuwun : terima kasih)

Eza meletakkan uang di atas meja lalu beranjak dari duduknya karena lengennya ditarik oleh sepupunya, Fahim.

"Nggeh, Mas," sahut seorang barista yang cukup mengenal Eza.

Hijaber [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang