Dulu, Jimin pernah berkhayal bagaimana rasanya hidup terlepas dari kedua orang tua. Sendiri, tanpa amarah, tanpa siksaan, menikmati hari-hari damai tanpa ada berbagai macam teriakan yang mengganggu pendengaran. Ia bahkan sering kali berdo'a agar Tuhan memberi sebuah kebebasan.
Namun seiring waktu berlalu, khayalan itu sirna ditelan kenyataan bahwa ia tidak memiliki siapa pun selain mereka, bahwa dengan hidup sendiri hanya akan memperburuk kekosongan di hatinya.
Itulah alasan mengapa Jimin memiliki sebuah keinginan untuk membahagiakan kedua orang tuanya, melepaskan mereka dari kondisi ekonomi yang sulit. Berharap jika hal itu benar tercapai, ia akan mendapat kasih sayang yang selama ini diimpikannya.
Sekarang, setelah dokter mengatakan bahwa ibunya tidak selamat. Apa yang harus ia lakukan?
Dua puluh menit yang lalu, pintu UGD terbuka dengan seorang dokter memberitahu bahwa penanganan untuk Park Eunji terlalu terlambat, andai mereka membawanya lebih cepat, mungkin ibu Jimin masih bisa diselamatkan.
Setelah mendengar hal itu juga, Jimin tidak bergerak dari duduknya barang sedikit pun. Taehyung dan Jungkook berada di samping kanan-kiri, memberi beberapa kata penenang yang bahkan tak dapat didengar oleh pemuda Park tersebut.
Benak Jimin sibuk mereka ulang apa yang terjadi beberapa saat sebelum ini, seingatnya semua masih baik-baik saja ketika ia berangkat sekolah. Sang ibu masih memakan sarapan, menggerutu tentang berbagai macam hal, dan mengomentarinya yang tidak menghiraukan sama sekali ocehan tersebut. Lalu mengapa?
"Jimin-ah?" Taehyung mengelus pipi Jimin untuk mendapatkan perhatiannya, menatap dengan begitu khawatir.
"Ah, iya?" setelah sedikit tersentak, Jimin akhirnya merespon panggilan sang sahabat.
Taehyung meringis saat menyadari binar mata Jimin meredup. Tatapan itu kosong, tidak menyiratkan emosi apa pun. Lengan yang terdapat memar ia raih dan elus dengan lembut, "kalau ingin menangis, maka menangislah."
Namun Jimin hanya menggeleng, dan kembali menatap ke arah lain.
Dalam diam, Jungkook memperhatikan dari samping, dengan kedua pipi sudah basah oleh air mata. Ia yang tidak ikut masuk ke dalam rumah keluarga Park atas perintah Seokjin begitu terkejut saat ketiga kakaknya membawa sosok wanita berlumuran darah menuju ambulans yang datang tak lama setelah dipanggil. Pun Jimin yang begitu panik hingga mengabaikan kenyataan bahwa dirinya juga terluka.
Memar di pipi, bekas cekikan yang memerah di leher, pun luka-luka lain di sekitar lengan dan kakinya. Jimin menghiraukan itu semua, hanya khawatir pada keadaan sang ibu.
Suara langkah kaki mengalihkan atensi dua dari mereka. Hoseok datang membawa beberapa lembar kertas di lengannya.
"Sudah selesai dengan administrasinya, hyung?" tanya Taehyung memecahkan keheningan.
"Sudah. Dan Jimin, kau juga harus diobati." ucap Hoseok saat sudah berada di dekat mereka, lengannya tergerak untuk mengelus puncak kepala Jimin.
"Tidak perlu, hyung." Jimin menolak dengan halus tanpa mengalihkan pandangannya dari sebuah ruang di mana jenazah Eunji berada.
Jungkook memegang kedua pundak Jimin dan memaksa sang kakak untuk melihat padanya, "hyung, kau terluka. Harus diobati."
"Tidak apa. Aku tidak merasakan sakit."
Mendapat respon tersebut membuat ketiganya menatap miris dengan dada yang terasa sesak. Sungguh, lebih baik mereka melihat Jimin menangis meraung, mengeluarkan semua kesedihannya daripada seperti ini.
"Aku lelah, ingin tidur." ucap Jimin tanpa sadar. Benar, ia ingin cepat tidur dan berharap ketika bangun nanti, ini semua hanya mimpi.
Ketiga sahabat yang lain saling pandang, kemudian Hoseok mengangguk dan mengisyaratkan bahwa ia akan mengurus semuanya sehingga mereka bisa pulang terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Never Walk Alone√
Fanfic[Completed] Jimin selalu sendirian dalam hidupnya, ia tak pernah menerima kasih sayang baik dari orang tua ataupun orang-orang di sekelilingnya. Namun kehidupannya berubah ketika ia mengenal Taehyung dan ke 5 sahabatnya, mereka membuat hidupnya leb...