Satu hal yang membuat Jimin hampir tidak pernah bisa tidur setiap malam adalah rasa bersalahnya terhadap bangtan. Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah mereka mengkhawatirkannya? Atau justru membencinya karena memutuskan untuk pergi?
Apa pun itu, ia hanya berharap mereka baik-baik saja. Masih bahagia seperti ketika belum bertemu dengannya.
Bagi Jimin, mengenal bangtan adalah hal terbaik dalam hidupnya, menghabiskan waktu bersama mereka membuat ia merasa tidak membutuhkan apa pun lagi. Bangtan adalah kebahagiaanya, semua yang ia harapkan.
Masih terngiang dalam benak betapa sering mereka berkata untuk selalu berbagi beban dan melewati semua keadaan sulit bersama-sama. Namun, saat ini Jimin merasa ia adalah beban untuk dirinya sendiri.
Ia harus melakukan sesuatu untuk berubah menjadi lebih baik, demi dirinya sendiri dan semua orang yang berada di sekelilingnya.
Sudah dua bulan Jimin meninggalkan kehidupan di Seoul dan memulai kembali di kota kelahirannya, Busan. kini ia hanya menghabiskan waktu dengan bekerja, bekerja, dan bekerja.
Dimulai pukul delapan pagi hingga sore bekerja di kafe milik Minho, dilanjutkan dengan shift malam di salah satu supermarket dekat apartemen mereka, dan menjadi pengantar koran saat pagi kembali menyambut.
Jimin hanya memiliki waktu sekitar 4-5 jam untuk tidur. Melelahkan memang, namun, ini adalah yang ia perlukan untuk melupakan semua beban pikiran.
Suara ketukan di pintu membuatnya terlonjak, tersadar dari segala lamunan. Dengan tergesa, Jimin bangkit dari kasur untuk membuka pintu kamar dan melihat sosok Minho tersenyum padanya.
"Kau tidak tidur lagi?" tanya sang kakak sebelum kemudian memasuki kamar tersebut.
Jimin tak menjawab, hanya bisa tersenyum canggung saat menyadari jam menunjukkan pukul 5 pagi, menandakan tak lama lagi ia harus berangkat mengantar koran.
"Sudah kubilang untuk tetap memperhatikan kesehatanmu, Jim. Kalau nanti sakit bagaimana, hm?" Minho memukul pelan kepala pemuda yang lebih muda itu dengan kertas dalam genggamannya.
"Maaf, hyung." lirihnya dengan kepala tertunduk.
Minho menghela napas sebelum kemudian memberikan kertas yang ia genggam, "hari ini kau kuliburkan dari kafe. Dan pergilah ke alamat tersebut."
Dengan bingung, Jimin membuka kertas yang diberi sang kakak. Di sana tertera alamat yang cukup familier, "hyung, ini?"
Pemuda di hadapannya tersenyum lembut, "itu adalah alamat keluargamu di Busan. Kau bilang ingin mencari nenek dan kakekmu kan? Dari semua yang kau ceritakan tentang mereka, aku mencoba mencaritahu dan akhirnya menemukan alamat tersebut."
Jimin meremas kertas dalam genggamannya. Benar, sebelum ini ia memang menceritakan tentang keinginan untuk bertemu dengan mereka, setidaknya memberi kabar tentang kepergian sang ibu.
Hatinya kembali terasa sakit saat mengingat niat Eunji tak lama sebelum kejadian mengerikan itu terjadi. Di mana sang ibu memaksa untuk pindah ke Busan karena sudah tidak tahan dengan perilaku Sihyun.
Andai saja saat itu Jimin menurut, mungkin ibunya masih hidup hingga sekarang.
"Hei! Kenapa malah melamun?" tanya Minho seraya menepuk pundak Jimin.
"Tidak apa, hyung. Aku hanya.." Jimin tak bisa melanjutkan perkataannya, terlalu bingung untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan saat ini.
"Sudahlah, aku mengerti. Tapi maaf Jim, aku tidak bisa mengantarmu hari ini. Kau tak apa kan pergi sendiri?" raut wajah Minho menandakan khawatir, membuat Jimin menggeleng dan tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Never Walk Alone√
Fiksi Penggemar[Completed] Jimin selalu sendirian dalam hidupnya, ia tak pernah menerima kasih sayang baik dari orang tua ataupun orang-orang di sekelilingnya. Namun kehidupannya berubah ketika ia mengenal Taehyung dan ke 5 sahabatnya, mereka membuat hidupnya leb...