38

1.4K 120 0
                                    

"Well, kau bangun tepat pada waktunya, ngomong-ngomong, masih kenal siapa aku ?"

Tubuh seksi dan wajah angkuh. Cukup sulit untuk melupakannya. Wanita yang waktu itu menyiramku di restoran ayam. Dunia ini begitu sempit huh? entah bagaimana ia kini ada di sini.

Wajahnya benar-benar terlihat makin tua.

Andai aku bisa mengatakan itu, sayang sekali mulutku ini masih tertutup oleh lakban.

"Mengangguklah jika kau mengingatku." suruhnya.

Yang benar saja, mana mungkin aku mengikuti kata-kata ahjumma ini. Lebih baik diam dan melemparkan tatapan jengah ke arahnya.

"Kau tidak mau mematuhiku huh ? Dasar gadis keras kepala.." ia mendekat dengan cara berjalan yang sejak awal sudah membuatku muak.

"Aku senang bertemu denganmu lagi, tapi kelihatannya tidak bagimu.." tangannya mencengkeram kedua pipiku.
"Well, tak apa, setidaknya aku punya alasan untuk melakukan sesuatu padamu sekarang." ia tersenyum menyeramkan. Persis seperti seorang penyihir bagiku.

Dilepasnya pipiku dengan tarikan kasar. Lalu tangan kanannya meminta sesuatu pada anak buahnya yang sudah berbaris tertib mengelilingiku.

Aku menatap sekitar agak was-was. Wanita ini mengisyaratkan akan berbuat sesuatu yang tidak kuharapkan.

Kemudian persis seperti dugaan, sebuah cambuk diberikan padanya. Aku menelan ludah. Smirk mengerikan itu tergambar jelas di sana.

"Kau mungkin bertanya-tanya kenapa aku melakukan ini.. tapi yah.. Aku malas menjelaskannya, kau akan tau nanti." Ia memukulkan cambuk itu pelan ke telapak tangan sembari terus menatapku.

"Sekarang biarkan aku bersenang-senang dahulu." katanya, detik selanjutnya benda itu diangkat olehnya, siap untuk diayunkan ke tubuhku.

Aku mendelik dalam hati, tepat setelahnya..

'Swush'

Suara cambuk terdengar pedih sebelum menyentuh lengan kiriku. Membuatku meringis tanpa suara. Rasanya bahkan lebih pedih dari apa yang kubayangkan sebelumnya.

'Swush'
'Swush'
'Swush'

Tanpa ampun. Pukulan demi pukulan menggerayangi seluruh tubuhku. Dapat kurasakan darah mengalir keluar dari setiap bekas luka cambukan itu.

Aku memejamkan mata berharap itu bisa membantu mengatasi sedikit kesakitan.

Tidak. Ini tidak menyakitkan.

Aku tidak pernah mengenal rasa itu.

.
"HAHAHAHAHAHAHAHAHA"

Suara tawa si penyihir memenuhi gendang telinga. Ia menghentikan perbuatannya. Aku menarik napas sembari membuka mata.

Kutatap dingin wanita tua itu.

Ia terkesiap. Tak menduga akan mendapat reaksi semacam itu dariku. Mungkin juga kaget karena aku tak memperlihatkan mimik kesakitan sama sekali.

Tawanya terhenti. Aku menajamkan tatapan. Berusaha memperlihatkan aura yang sebisa mungkin terlihat menakutkan.

"Kau...bagaimana bisa.." ahjumma itu bertanya dalam raut heran.

Aku tak mengalihkan tatapan dari matanya.
Memperhatikan setiap raut bingung yang ditampilkannya.

Tentu saja, dengan semua luka ini, sekarang ia mungkin berpikiran bahwa aku bukan manusia.

Sungguh, aku ingin tersenyum jika bisa. Menyenangkan sekali melihat raut heran itu di wajahnya.

Jujur semua rasa perih itu menjalar di seluruh tubuhku. Tapi inilah sebuah kenikmatan yang harusnya kunikmati.

Psychoupple [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang