part 22

9.9K 276 3
                                    


Gadis itu baru saja keluar dari kamar, menggulung rambutnya sambil menatap punggung seseorang yang sedang menghadap ke jendela yang menampakkan pemandangan langit oranye sedikit kemerahan karena cahaya fajar yang baru saja menyingsing. Gadis itu menghembuskan napas, sudah lima hari ini dia melihat pemandangan itu.

Dan mulai jenuh. Gadis itu mendekat, menuangkan air minum ke dalam gelas yang diletakkan di atas meja makan.

"Apa kau salah meminum obat? Sejak lima hari terakhir kau selalu bangun sepagi ini?" tanya Zirma yang kini berstatus sebagai kakak ipar nya.

"Aku tidak tidur, aku sudah mencoba memejamkan mata tapi tidak bisa. Kurasa aku terserang insomnia."

Zirma nyaris menyemburkan air yang baru saja disesapnya. "Kau tidak tidur?!!" matanya mengerjap. "Sejak semalam atau sudah berapa hari?"

Ara menoleh, mulai membereskan gelas kotor bekas dipakai semalam kemudian berjalan ke arah tempat pencucian. "Baru lima hari ini. Aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya." tidak ada nada ceria seperti biasanya, lebih terdengar lesu dan tidak bersemangat. "Aku sudah mencoba membaca buku agar aku bisa terlelap atau bermain game,  tapi tetap saja semua usahaku sia-sia."

"Sekarang masuk ke kamarmu dan tidur. Biar aku yang mengerjakan semuanya." kata Zirma setelah gadis itu berdiri di samping Ara. Merebut pekerjaan gadis itu.

"Aku terbangun tengah malam, bukannya tidak tidur sama sekali. Jangan khawatir." jawabnya tak acuh.

Zirma mendengus pelan. Menatap Ara lebih lekat. Mencoba membaca raut wajah adik iparnya yang terlihat berbeda dari biasanya. Dari pengamatan yang dia lakukan dia bisa menyimpulkan jika memang ada sesuatu yang tidak beres. Wajahnya pucat, tapi mungkin karena dia kurang tidur. Dan kenyataannya memang bukan sampai disitu saja, bahwa pandangan gadis itu yang terlalu kosong dan gerakan tangan yang menggosok setiap piring, gelas, atau sendok yang terasa hambar.

"Kak harusnya bersyukur karena aku mau repot-repot membantu menyelesaikan pekerjaanmu. Lebih baik sekarang kau siapkan makanan untuk sarapan. Dan bukankah berangkat pagi itu lebih menyenangkan karena tidak harus terburu-buru?"

Zirma diam sejenak. Masih sibuk dengan pikirannya tentang sikap aneh adiknya. Tapi kemudian dia mundur dengan perlahan, menyiapkan semua bahan makanan yang akan dia masak. Masih sempat mencuri pandang, mengamati dari balik bahunya.

===ooo===

"Ara, kau sudah selesai dengan  pekerjaanmu di dapur? Jika sudah kau lebih baik mandi atau mengerjakan tugas sekolah mu yang belum selesai."

"Aku sudah menyelesaikan semua tugas sekolah ku kemarin."
"Kakak memasak saja. Aku lapar."

Zirma mengangguk. Dia bersyukur, setidaknya nafsu makan adiknya tidak ikut-ikutan lesu atau parahnya hilang. Zirma segera menuju dapur, membuatkan nasi goreng, roti bakar, susu, dan menyiapkan buah-buahan sembari menunggu Ara datang.
Setelah lewat tiga puluh menit semuanya sudah tertata rapi diatas meja makan. Zirma  ke dalam kamar untuk mandi setelah memastikan Ara masih baik-baik saja dan tidak bersikap lebih aneh lagi.

===ooo===

06:00 PM

"Ibu,  lihat sendiri bukan?" Zirma berbisik pelan pada mertuanya itu. Mereka berdua sejak tadi mengamati Ara yang sedang duduk di sofa, matanya memang menatap layar televisi tapi orang akan dengan mudah menebak apa yang terjadi. Bahwa kedua bola mata itu tidak fokus pada layar, melainkan kosong tanpa objek bahkan telinganya tersumpal earphone.

Ibu mengangguk. Matanya masih mengamati putri nya itu. Keningnya mengerut, menyeruput teh hangat yang dibuatkan Zirma. "Sejak kapan?"

"Aku tidak tahu tepatnya, tapi kurasa sejak lima hari yang lalu." Zirma melipat tangan diatas meja. "Apa dia sedang bertengkar dengan suami nya?"

"Kurasa tidak."

"Lalu ada apa dengan dia" tanya Zirma penasaran.

"Mungkin saja dia hanya merindukan suaminya, mereka belum bertemu satu minggu ini?"

Zirma menunduk setelah menatap Ara lekat. Mencoba menilai dan dia berharap jika ucapan Ibu nya benar. Tidak ada lagi cemburu, pertengkaran atau sesuatu yang lebih parah dari itu.

Ara hanya diam, tidak menatap layar televisi sama sekali. Pikirannya entah kemana. Dia hanya tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Ini sudah lewat tujuh hari dan dia seperti orang tolol menikmatinya. Membuatnya terlihat menyedihkan dimata orang lain. Sering menyendiri dan tiba-tiba sering marah tanpa sebab. Dan semalam dia seperti ingin membanting sesuatu untuk mengungkapkan perasaannya. Dia marah karena mulai sadar jika perpisahannya  ini benar-benar berat. Bahwa dia mulai sadar akan perasaan rindunya yang begitu menyiksa.

Pria itu, suami nya, yang membuatnya seperti ini.
Dengan semua sikap konyol dan over protektifnya. Dari hal sepele sampai hal yang paling detail. Dari semua perlakuan pria itu yang dia anggap terkadang menjengkelkan tapi ia merindukan nya .
Ia kira dia akan baik-baik saja tampa ada David. Fakta yang cukup mencengangkan bagi dirinya. Dia.. Salah menduga itu.

Melihat pria itu. Mendengarkan omelan pria itu. Menatap wajah pria itu yang cemberut, merajuk, tertawa atau sekedar tersenyum tipis dan ekspresi lain yang ditunjukkannya. Menyentuh dan disentuh pria itu. Juga sikap pria itu yang seolah menganggap bahwa dirinya adalah milik pria itu. Hanya milik pria itu. Seolah dia adalah anak lima tahun yang harus menurut dan selalu dilindungi. Sesuatu yang sebenarnya membuat ia risi. Namun kini.. dia sudah memutuskan untuk merindukan itu semua. Terutama.. si pelakunya. Pria itu. Dia merindukannya dan mencintai setiap sifat dan karakternya. Tanpa ampun.















To be continue..

My Teacher is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang