part 19

10.8K 290 0
                                    

Ara mengerjap. Pria itu mendekat untuk mengambil coat yang tersampir di lengan kursi di belakangnya dan tanpa senyum atau apa pun berbalik. Jahat!

"Tunggu!"

David berhenti tiga langkah darinya. Gadis itu menyusul dan berdiri dengan kepala mendongak di depannya.

"Kau mau pulang begitu saja tanpa mau menyelesaikan kesalahpahaman ini?"

"Kau sudah menjelaskan dan aku anggap semuanya sudah clear."

Ara selalu benci ketika David mulai bersikap dingin dan tak acuh seperti ini. Hatinya sakit, tidak mau menerima.

David menoleh kesamping, tepat ketika tangannya di genggam ringan oleh Ara. Gadis itu menunduk, mencegahnya pergi dan ucapan gadis itu setelahnya justru membuatnya tidak tahu harus bersikap seperti apa. Dia tahu, semarah apa pun, dia tetap akan sulit mengabaikan gadisnya.

"Maaf. Aku yang salah." genggaman itu lebih erat. "Aku salah karena meninggalkanmu. Maaf." bisiknya, semakin lirih.

"Aku sudah memaafkanmu. Fahmi menyuruhku kembali." jelasnya pendek, masih dengan nada datar yang menyakiti Ara, tanpa sadar.

"Setahuku, kau tidak pernah bicara sedingin itu saat kita baik-baik saja. Jika kau marah aku mengerti. Pulanglah. Sekali lagi maaf." tepat saat itu air mata Ara jatuh. Dia tidak tahu kenapa dadanya begitu sakit dan ngilu. Genggamannya terlepas dan dia keluar lebih dulu meninggalkan David. Lagi, salah paham yang sulit terselesaikan. Yang sering membuat mereka bertengkar. Salah satu alasannya takut David akan meningal kan nya. Dia merasa.. belum dewasa.

"I’m okey. I’m okey." Ara terus saja menggumamkan mantra itu untuk menghilangkan rasa perih, sakit, sesak dan ngilu di dadanya yang semakin mencekik. Dia mulai tidak bisa bernapas dengan benar. Mulai tersengal seperti penderita Asma akut.

David keluar dengan tergesa. Dia tahu gadisnya terluka karena dirinya. Langkah kaki gadis itu yang terburu-buru seolah ingin melarikan diri dari rumah semakin membuatnya yakin jika keadaan gadis itu tidak baik-baik saja. Satu.. dua.. tiga.. dapat!

Pria itu menarik pergelangan tangan Ara, menariknya hingga gadis itu menoleh dan berhadapan secara langsung dengannya. Tuhan, maafkan David yang pencemburu ini.

"Sekarang siapa yang melarikan diri?" tanya David retorik. Dia melihat pergerakan Ara. Kaki telanjang gadis itu mundur perlahan meski sama sekali tidak membuatnya bergeser lebih dari sepuluh senti. Kepalanya masih tertunduk dalam. Tangannya bergetar dalam genggamannya.

"Maaf." bisikan itu lebih mirip sebuah mantera kematian bagi David. Terlalu menyakitkan.

Dalam sekali sentak, tubuh gadis itu berada dalam dekapan David. Di peluk erat dan yang bisa Ara lakukan hanyalah diam. Terpejam. Semua ingatan tentang pertengkaran mereka berputar acak di kelopak matanya yang gelap. Tanpa sadar, dia mencengkeram baju David. Tidak ada isakan, tapi air matanya terus saja berjatuhan. Dia masih takut. Terlalu takut untuk menatap suaminya.

"Kau tahu aku tidak pernah sekali pun mengizinkanmu menangis. Kau sudah hampir lulus , jadi hilangkan sisi cengengmu yang akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan." lirih David disela rambut Ara yang hanya di kuncir asal. "Aku harus pulang."

"Ini masih terlalu pagi."

"Tapi-"

"Sebentar saja." Ara mengeratkan pelukannya. Dia tidak mengerti kenapa dia menjadi seperti ini.

"Aku yang salah. Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku menerima semua pria disekitatmu diantara kita, tapi sepertinya hatiku belum benar-benar rela." pria itu menjauh. Menatap wajah Ara yang basah lalu menghapusnya dengan kedua ibu jari. "Meski kemarin, atau bahkan berulang kali kita membahas tentang teman-teman pria mu, aku tetap.. sulit menerimanya. Aku masih cemburu."

My Teacher is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang