Dia menghela napas, menatap kemeja hitam yang dia pegang. Dia meremasnya ringan dengan jemari yang bergetar. Hatinya mulai sesak lagi, semalam dia tidak bisa tidur karena terlalu takut dengan kemungkinan yang begitu mencekik memorinya.
David tersenyum melihat berbagai tumpukkan baju lengkap dengan celananya. Kerja gadis ini cukup cepat. Dia meletakkan nampan berisi susu itu di ruang tengah dan bermaksud membantu agar pekerjaan gadis itu cepat selesai jadi mereka bisa menghabiskan waktu sebelum keberangkatannya besok lusa, tapi sepertinya dia tidak dibutuhkan. Kakinya melangkah mendekat, menatap dengan kening berkerut saat sadar jika Ara sedari tadi menunduk menatap kemejanya.
"Apa kau sudah selesai?"
Ara belum berbalik, masih dengan posisinya dan dia tahu jika Insan berdiri tepat di belakangnya. Beberapa hari terakhir dia sering menangis di depan David, jika dia menangis sekali lagi tidak apa-apa ‘kan?
David menatap Ara yang mengembalikan kemeja itu ke tempatnya. Gadis itu berbalik, menempelkan kening di dada miliknya serta kedua tangan gadis itu meremas kaus bagian pinggang. Dia tahu gadis ini sedang menyembunyikan wajah sedihnya.
"Kau_kenapa,"
"Bisa diam sebentar? Biarkan seperti ini sebentar saja."
Suara gadis itu parau, dia tahu jika istrinya sedang mati-matian menahan isak tangisnya yang mungkin terasa begitu menohok tenggorokan. David tidak bisa berbuat apa pun, dia hanya bisa memberikan pelukan dan menepuk-nepuk punggung istrinya pelan. Dia tidak mau membuat gadis ini merasa lebih takut lagi. .
Perlahan, ketika tubuh gadis itu bergerak, bahunya yang naik turun dengan gerakan seolah tertahan, menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan begitu perlahan secara berulang kali, saat itu dia tahu jika hubungan mereka sudah lebih dari cukup baik. Bahwa meski mereka tidak mengucapkan kata cinta, mereka bisa yakin dan tahu bahwa mereka sudah dalam tahap yang lebih tinggi. Saling membutuhkan, bergantung, dan merasa memiliki satu sama lain.
===ooo===
08:30 PM
"Setelah ini kuantar pulang."
Mereka sedang makan malam dan gadis itu belum memiliki tanda-tanda untuk pergi dari rumah ini. Masih terlalu betah dan tanpa sepengetahuan David, dia sudah menelpon Ibunya untuk meminta izin tidak pulang. Ara merelakan telinganya panas mendengar petuah-petuah dari Ibunya yang melarangnya ini dan itu. Agar dia ingat batasan-batasan yang harus tetap di jaga karena mereka hanya berdua dan dan ia belum lulus.
"Akan aku bereskan." Ara tidak menjawab. Hanya memberi argument lalu beranjak sambil membawa beberapa piring kotor untuk di cuci.
David hanya berdiri di belakang Ara, menonton punggung mungil itu lama-lama. Untuk me-refresh otaknya, agar dia bisa melihat meski dengan mata tertutup. Hari ini dia lebih cerewet dari biasanya, mencoba bertanya banyak hal meski itu sepele, mencari berbagai macam bahasan yang bisa membuat mereka tetap bicara, agar dia bisa mendengar suara gadis itu meski dia tidak bersamanya. Dia membiarkan gadis itu bergelayut di pangkuannya, bersandar di bahunya, atau sekedar memainkan jemarinya –yang biasanya membuatnya terganggu karena tidak bisa melakukan apa pun-, agar dia bisa merasakan kehadirannya saat dia sendiri.
Pria itu tersenyum, menyambut Ara yang sudah selesai dengan pekerjaannya. Merangkul bahu gadis itu lalu menggiringnya untuk duduk di ruang tengah. Yah, beginilah kehidupan yang dia inginkan jika mereka tinggal bersama nanti. Menghabiskan banyak waktu bersama meski tanpa melakukan apa-apa.
"Kapan kau berangkat?" Ara bersuara, gadis ini sudah lebih ceria dari siang tadi.
"Lusa. Pukul 10 pagi. Mau mengantar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Teacher is My Husband
Fiksi RemajaBagai mana Rafailah Inayah Ulfah yang masih berstatus sebagai pelajar, bisa menikah dengan laki-laki bernama Zidan David Virlando, yang usianya terpaut 7 tahun lebih tua dari nya. Lelaki yang awalnya bersetatus sebagai guru magang di sekolahnya ki...