Pagi hari itu, langit sepertinya sedang setengah hati menaungi kotamu. Matahari yang sejatinya terang tertutup oleh arak gelombang awan kelabu, ditambah embusan angin dingin yang merasuk beku. Bahkan, kamu bisa merasakan dinginnya walau jendela kamarmu sedang tertutup.
Oleh karenanya, kamu was-was. Na Jaemin sudah berjanji untuk menemuimu dan menemanimu jalan-jalan, tapi melihat keadaan langit saat itu yang tidak cerah, sepertinya dia akan membatalkannya tanpa memberitahumu. Jadi, kamu memilih bergelung dalam selimutmu seraya memainkan ponsel. Ada beragam hal menarik yang muncul di media sosialmu, seperti temanmu yang membuat video murahan dan sukses membuatmu tergelak-gelak. Yah, dia kelihatan sangat bodoh di sana.
Omong-omong soal Na Jaemin, dia adalah salah satu temanmu. Kalian hidup bagaikan roti dan mentega selama periode sekolah menengah; tidak bisa dipisahkan. Namun, semuanya berubah ketika Jaemin harus melanjutkan sekolahnya di luar kota tiga bulan lalu. Walau terpisah begitu, hubungan kalian tidak serta merta merenggang. Jaemin rutin menghubungimu, dan frekuensinya membuatmu merasa kalian sedang tidak jauh. Tapi tetap saja, rasa rindu yang muncul tidak bisa kamu kesampingkan.
Kamu yang fokus pada ponsel terperanjat ketika mendengar ketukan keras di jendela kamarmu. Segera kamu menyingkirkan selimut dari tubuhmu dan mengecek siapa pelakunya. Ternyata itu Na Jaemin, sedang melambaikan tangannya padamu lengkap dengan senyum mengembang.
Kamu menyusul Jaemin keluar rumah, lalu menemukannya tetap tersenyum lebar di samping sepeda motornya. Dia tetap terlihat seperti Jaemin yang kamu ingat tiga bulan yang lalu. Karena kombinasi itu, dingin angin yang berembus seketika kamu lupakan. Kamu pun menyapa Jaemin dengan riang, "Jaemin! Kamu datang?"
Senyum Jaemin meluntur. "Kenapa tidak? Kamu tidak suka melihatku?" protesnya.
"Ei, bukan begitu. Kukira kamu tidak akan kemari."
"Memangnya kenapa?"
"Sekarang, kan, mendung."
Jaemin mendongak dan mengamati langit. "Wah, benar juga," gumamnya.
Kamu mendengarnya, lalu menghela napas. Sepanjang perjalanannya ke rumahmu tadi, dia tidak sadar kalau langit sedang gelap? Apa dia tidak membuka matanya sama sekali? Luar biasa.
"Sepertinya, kamu belum mandi," lanjut Jaemin, nadanya sinis.
Satu tanganmu melayang ke bahunya. "Enak saja! Aku sudah mandi, sudah berdandan, pokoknya sudah semuanya!"
"Idih," Jaemin mencibir, "kenapa penampakanmu masih seperti ini kalau begitu?"
Kali ini, kedua tanganmu bergerak memukulinya bertubi-tubi. "Menyebalkan," desismu kesal. Sekelihatan itukah kalau kamu belum mandi?
Jaemin mengusap-usap bahunya yang kamu aniaya, namun tak urung tawanya meluncur lepas. "Kamu tahu? Aku merindukanmu, kalau boleh jujur," ungkapnya kemudian.
Klasik, siapa yang tidak merindukan temannya tatkala sudah tiga bulan tak jumpa? Kamu sudah direcoki hal itu berkali-kali oleh Jaemin, entah di telepon atau di sela-sela pertukaran pesan yang kalian lakukan selama ini. Namun, seperti yang biasa terjadi, senyummu menyembul, "Aku juga merindukanmu, Jaemin."
Senyum Jaemin pun kembali terbit. "Aku tahu, aku memang membuat siapa pun rindu."
Sekali lagi tanganmu melayang ke bahunya, namun dengan kekuatan yang tidak seberapa. "Jangan sok," katamu juga.
Jaemin menyengir kuda. "Sudahlah, cepat mandi dan bersiap sana, selagi hujan belum turun," usulnya kemudian.
Kamu mengangguk menyadari kebenarannya. Bukannya ikut gembira karena kalian yang kembali bertemu, langit memilih semakin kelabu. Tidak akan seru kalau hujan menghujam ketika kamu dan Jaemin sedang berada di atas motor yang melaju. Jadi, kamu menyuruh Jaemin duduk di teras rumahmu sembari menunggumu selesai bersiap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengandaian: NCT | [NCT Imagines!]
FanfictionKamu bisa jadi apa saja; termasuk jadi apa pun yang kamu inginkan bersama anggota NCT. Cukup dengan berandai-andai. Ini, adalah pengandaianku. Silakan ambil bagian di dalamnya.