Haechan - Kasih yang Jauh

255 16 0
                                    

Di atas nakas, sebuah ponsel merah muda berdering. Rasanya belum ada satu jam sejak kamu berhasil menidurkan badan, sehingga deringnya yang tiba-tiba itu sangat mengganggu. Jadi, kamu berusaha meraihnya dengan kepala berdenyut-denyut, kemudian langsung terduduk ketika melihat siapa pemicunya.

Ribuan kilometer dari tempatmu, Lee Haechan muncul memenuhi layar ponsel. Sama seperti penampakannya selama tiga bulan terakhir, wajahnya masih bersinar kekuningan, hasil penerangan samping tempat tidurnya yang memang berpendar temaram. Sebuah kacamata bulat bertengger pada tulang hidungnya. Rambutnya tidak tertata.

"Hai, Sayang," sapanya sambil melambaikan tangannya sekali.

Sebuah senyum kamu pasang dengan hambar. "Hai," balasmu.

"Tadi sudah tidur, ya?"

"Hm."

"Maaf membangunkanmu. Aku baru saja sampai di rumah."

Kamu mengangguk samar. "Kulitmu bertambah pucat. Gaming lagi?"

"Yap. Terlihat jelaskah?" Haechan mengucek rambutnya, "Aku cukup stres. Pekerjaan terlalu menumpuk. Kamu tidak marah, kan?"

Kamu menggeleng sekali. "Memangnya kalau kularang, kamu bakal berhenti? Kurasa tidak."

Haechan mendengus. "Yah, benar. Tidak juga, sih."

Kamu ikut mendengus. Lee Haechan memang tidak bisa diatur, tetapi rasa berat itu tidak hanya bersumber dari sahutannya barusan.

"I miss you. Badly."

Kata-kata manis itu seharusnya mengundang gelegak rasa. Kali ini, ia tidak datang. Mungkin karena kamu tidak merasakan hal yang sama tentang Haechan sekarang. Atau, karena Haechan terlalu sering mengatakannya, sampai tidak lagi terasa spesial bagimu. "Kalau begitu, kemarilah," katamu asal-asalan.

"Ke Melbourne sana? Itu tidak mungkin, dong."

Dengusan yang kedua terhela dari hidungmu. Haechan mengatakannya dalam nada gurau, tetapi efeknya tidak beresonansi denganmu. Haechan harusnya betul-betul datang kemari. Ada di sini.

"Hei... kamu marah?"

Ketiadaan sahutanmu tentu membuat Haechan bertanya demikian. Marah? Bisa jadi. Rasanya memang ada yang menyengat di hati.

"Halo?" ulang Haechan.

"Tidak," kamu mendongak, "hanya saja... kamu tahu, aku tadi terbangun dari tidur karenamu. Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk bertelepon. Aku ingin tidur lagi."

Wajah Haechan menyiratkan tanda tanya. "Benarkah? Jadi... haruskah kututup telepon ini sekarang?"

Tanpa ragu, kamu mengangguk.

"Oh, oke. Kututup, ya. Selamat malam, kalau begitu."

Kamu mendengar jelas kekecewaan Haechan. Namun, kamu kembali mengangguk. Dalam dua detik, wajah layu Haechan menghilang dari layar, lalu layar itu menjadi gelap total.

Di hari ini, Haechan baru meneleponmu satu kali tadi. Kamu mengira-ngira, durasi panggilan video tadi tidak sampai dua menit lamanya. Sepanjang ingatanmu, itulah sesi terpendek yang pernah terjadi di antara kalian. Seharusnya, timbul penyesalan atau setidaknya keinginan untuk melakukan panggilan ulang, sebab harusnya kalian bisa mempertahankannya lebih lama dengan beragam topik dan bahasan. Namun, kali ini tidak ada. Sedikit pun.

Kamu mencoba menunggu keinginan itu. Ternyata Haechan melakukannya lebih dulu, dengan mengirim beberapa pesan. Namun, lima menit kemudian, kamu tidak menyentuh ponselmu sama sekali.

Kembali kamu merebahkan kepala pada bantal. Kamu hanya ingin tidur lagi.

***

Pagi ini, bukannya bangun dari tempat tidur dan melakukan rutinitas pagimu, hal pertama yang kamu lakukan adalah memandangi layar ponselmu lama-lama. Yang kini terpampang adalah pesan terkini dari Haechan.

Pengandaian: NCT | [NCT Imagines!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang