Aku berharap dapat menghibur disaat titik terapuhmu.
Dapat menjadi sahabat yang selalu membersamaimu.__Ana Maryam
"Iya ma" Hanin terus berbicara dengan benda pipih yang ia tempelkan di telinganya. Tadi, ketika baru sampai di asrama, Mamanya menelpon.
"InsyaAllah Hanin usahain bisa wisuda. Iya, doain Hanin ya ma. Kenapa ma? akhir Desember ini Hanin pulang kok. Iya tau ma. Ya udah ma__Assalamualaikum."
Hanin meletakkan ponsel di atas rak buku miliknya setelah sambungan terputus. Menghela nafas dalam dan matanya berkaca-kaca.
Hanin merasa khawatir jika nanti mengecewakan orangtuanya karena tak kunjung wisuda pada Maret tahun depan. Ya Allah!, batinnya.
"Kak Hanin!" suara imut dari ruang tengah memanggilnya.
"Iya Na!"
Pemilik suara kini sudah berada di dekat Hanin."Kakak, tadi malam Kak Aro telpon aku dan nanyain kabar kakak. Kak Aro mau ngobrol sama kakak, tapi karena kakak lagi nggak di asrama, jadinya cuma nitip pesan." Jelas Ina.
"Oh!"
"Ih kak Hanin. Kok responnya gitu sih!"
"Iya, terus kakak mesti gimana? Hanin tertawa geli melihat Ina memberengut karenanya.
Ina menatap Hanin dengan tampang cemberut. Hal itu tak luput dari perhatian Hanin. Gadis itu mengulum senyum.
"Kakak masih kesel sama kak Aro! Pulang kampung kok nggak ngabarin!" gerutu Hanin.
"Ish Kakak. Bukannya nggak ngasih tahu! Ina melotot membuat Hanin tersenyum tipis.
"Karena mendadak, makanya telat ngasih tau. Besoknya Kak Aro juga chat kakak kan untuk ngasih tau?"
"Iya sih, tapi kan dianya udah sampai di kampungnya dek!"
"Terserah kakak deh. Kak Aro bilang kalo udah selesai ngambeknya hubungi dia kak" Ina menggeleng-gelengkan kepalanya merasa seniornya satu ini begitu sensitif.
"Siapa yang ngambek" kilah Hanin.
Kakak agak sibuk belakangan ini, makanya nggak ada hubungi kak Aro. Nanti kakak hubungi kak Aronya ya" jelas Hanin. Ini tersenyum dan merasa lega sebelum akhirnya meninggalkan Hanin.Hanin merebahkan diri ke atas kasur miliknya. Menatap langit kamar sembari mengingat pesan Aro. Sudah hampir satu bulan tidak berkomunikasi, karena Hanin memang sibuk berkutat dengan kegiatannya sebagai mahasiswa tahun akhir. Dimana Aro sudah lebih dulu melepaskan titel itu.
Selain itu, Aro memang sedikit keterlaluan. Bisa-bisanya Aro lupa mengabari dirinya jika akan pulang kampung.
Hanin kemudian kembali mengambil posisi duduk. Matanya memandang sekeliling kamar. Ia baru sadar, kamarnya berantakan. Ketika bicara dengan mamanya di telpon, Hanin tak sempat memperhatikan keadaan kamar. Sepertinya semalam, junior sekamarnya telah membuat peta. Semua itu jelas sekali dari pensil warna, kertas minyak dan alat-alat lainnya yang masih berserakan di lantai. Maklum mahasiswa Geografi.
"Ina! Pipin kemana dek?" Seru Hanin menyebut nama adik sekamarnya kepada Ina yang masih berada di ruang tengah.
"Kampus kak!"
Hanin menggelengkan kepalanya setelah tau kemana tersangka yang menyebabkan semua itu. Mau tidak mau dirinya membereskan kekacauan yang disebabkan Pipin, sebelum kepalanya semakin berdenyut karena Hanin tipikel orang yang tidak bisa istirahat sebelum disekitarnya rapi dan bersih.
***
Hanin merapikan khimarnya sekali lagi di depan cermin. Senyum terukir diwajah Hanin ketika penampilannya sudah nampak rapi. Hari ini, Hanin membuat janji untuk bimbingan skripsi dengan Bu Hafsa. Ya Allah semoga lancar, batinnya.
"Hanin!"
Gadis itu menoleh ke sumber suara yang baru saja meneriakkan namanya. Dirinya hapal betul siapa pemiliknya.
"Nin, tadi dicariin Bu Hafsa. Kok siang baru datang. Bimbingan kamu terpaksa dibatalin, Bu Hafsa keluar kota, proyek dosen deh kayaknya" terang Ana.
"Serius An. Terus nasib aku gimana?" Raut wajah Hanin yang tadinya jernih seketika berubah menjadi keruh mendengar penuturan Ana. Pasalnya sudah dua minggu dosennya itu tak bisa ditemui.
"Gimana dong An? Aku butuh bimbingan lagi!" keluh Hanin yang sudah akan menangis.
"Aduh, Nin! Aku juga nggak tau" ujar Ana prihatin. "Coba kamu telpon aja deh Bu Hafsa. Tanyain kapan beliau pulang? " Ana memberi saran.
Tanpa berpikir panjang, Hanin langsung mencari ponsel di dalam tasnya. Dirinya langsung menghubungi pembimbingnya itu dan dijawab. Namun obrolannya tak sampai satu menit karena dosennya sedang sibuk.
Hanin mendongakkan kepalanya berharap air matanya tidak tumpah. Dirinya sudah berjanji kepada orang tuanya akan pulang kampung akhir desember ini jika dirinya sudah selesai seminar. Namun sepertinya janji itu tak bisa ia penuhi. ACC dari pembimbing saja belum dia peroleh.
"Gimana Nin?" Ana menepuk pelan pundak Hanin yang matanya sudah berkaca-kaca.
"Aku kayaknya nggak pulang liburan kali ini An." Ana mengusap pundak Hanin lembut. Dirinya tidak lagi ingin bertanya kepada temannya itu setelah mendengar penuturan Hanin, takut jika Hanin bertambah sedih.
"Ya udah kalo gitu kamu sekarang ikut aku aja gimana?" Ana terlihat bersemangat.
"Kemana?" Hanin bertanya lesu.
"Ke game zone!" melihat Hanin seperti itu tak menyurutkan semangat Ana, kali ini gadis itu memperlihatkan senyuman terbaiknya, berharap Hanin mau ikut dan melupakan kesedihannya.
"An, Aku pulang aja ya." suara Hanin semakin pelan seakan tenaganya sudah menguap entah kemana. Sementara Ana mencebikkan bibir. Usahanya untuk menghibur Hanin gagal.
"Ya udah aku antarin." Ana mengamit lengan Hanin, dirinya sedih melihat Hanin seperti ini. Hanin yang biasanya begitu ceria. Ceria yang bahkan menular kepada orang-orang disekitarnya.
"Nggak usah An, Aku bawa motor kok" Hanin memaksakan seulas seyum di wajahnya.
"Kamu jangan sedih dong Nin. Kalo kamu nggak pulang, aku juga nggak akan pulang kok. Aku temenin kamu disini." Ana berkata tulus, matanya turut berkaca-kaca melihat raut murung sahabatnya itu.
"Makasih An, nggak usah"
Ana bergeming. Hanin sama sekali tidak merasa lebih baik. Usahanya untuk menghibur gagal total.
"Semangat Hanin!" Seru Ana mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke udara. "Hanin Fighting!"
Hanin tersenyum tipis, kemudian berjalan menjauh setelah sebelumnya mengatakan akan pulang, sendiri. Sementara Ana menghela nafas panjang. "Semangat Hanin" gumamnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA CINTA [END]
Teen FictionHanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian. Hanin melirik Fadhlan...