Jika ini adalah Jalan dari-Nya, maka aku harus belajar menerima dan berharap bahagia itu menjelangku. Meninggalkan kehampaan yang pernah mengisi ruang dalam hati. Aku berusaha mengikhlaskan.
__Hanindia Irawan
Hanin menatap pantulan dirinya di cermin. Setelah seminggu dirinya merenungkan permintaan dari orang tuanya. Kali ini Hanin benar-benar tidak dapat menolak.
Hari ini keluarga besar Ashraf akan meminang dirinya menjadi menantu dari putra tunggalnya. Dan Hanin sudah memastikan dirinya akan menerima pinangan tersebut. Jika hal ini yang dapat membuat baktinya kepada orangtuanya bertambah. Mengapa tidak? Pikirnya.
"Nin, udah siap nak?" Ratna memegang pundak putri sulungnya, memastikan keadaan Hanin yang hanya dibalas anggukan oleh gadis itu.
"Kamu deg-degan ya?" Ucap Ratna pelan, yang lagi-lagi hanya di balas dengan anggukan.
Sejujurnya Hanin tidak tau perasaan apa yang dirasakannya sekarang. Ingin menangis tetapi tidak sebegitu buruknya. Toh pemuda yang akan melamarnya adalah laki-laki yang dinilai baik oleh keluarganya, walau sedikit ketus itupun hanya kepadanya. Lagian itu juga karena kesalahannya.
Hanin menarik nafas dalam, mencoba memasok oksigen ke paru-parunya. Lillah Nin! Batinnya. dirinya tidak mau hal sesakral ini harus berlangsung salah niat. Hanin mencoba meyakinkan dirinya sendiri agar siap untuk menerima pemuda itu bukan karena paksaan orang tuanya. Aku ikhlas Ya Rabb jika ini ketentuan-Mu. Batinnya.
***
"Ma, ponsel Hanin kemarin gimana?" Hanin mengamit lengan mamanya yang sedang asyik mengobrol dengan Bude Yanti, tantenya yang notabene istri dari adik mamanya.
"Wah, cantiknya kamu Nin!" tutur Bude Yanti. Sementara Ratna mamanya hanya tersenyum melihat putrinya yang nampak anggun mengenakan gaun berwarna coklat muda dengan khimar senada yang tidak diketahui Hanin adalah pemberian dari keluarga Ashraf. Wajah Hanin juga dipoles dengan sedikit make up tipis namun dapat memberikan kesan cantik dan natural.
"Ah bude!, Hanin biasa ini." Tutur gadis itu, kemudian melirik mamanya.
"Ma, ponsel Hanin?" gadis itu kembali menanyakan ponsel miliknya yang kemarin tak sengaja tertinggal di rumah bude nya.
"Oh ponsel kamu toh Nin. Ada sama Farhat, tapi itu anak kemana ya?" bukan mamanya yang menjawab pertanyaan gadis itu tetapi Bude nya.
"Kenapa Nin, ada perlu? Kalo iya pake ponsel mama aja dulu." Tutur Ratna.
"Nggak kok ma. Hanin cuma mau cek ponsel aja, siapa tau ada yang penting." Tutur gadis itu.
"Oalah! Si Farhat kayaknya pergi deh Nin, bareng Dwi." Tutur Bude Yanti.
"Nggak papa bude, nanti aja kalo gitu."
"Kak, itu kayaknya keluarga pak Ashrafnya udah datang deh kayaknya?" Hanin menoleh kepada wanita muda yang merupakan adik bungsu dari mamanya. Apa yang disampaikan oleh Citra membuat Hanin meremas kedua jemarinya yang tiba-tiba mendingin.
"Oalah! Udah datang Nin. Bude jadi nggak sabar liat calon kamu?" kali ini suara budenya juga seakan menginstruksi jantung Hanin agar memompa lebih cepat. Dalam diam dirinya terus melafadzkan istighfar.
Ya Rabb kenapa perasaan hamba menjadi seperti ini? Batin Hanin.
Ratna yang melihat Hanin yang diam sedari tadi pun menghampiri putrinya. "Udah selesai siap-siapnya kan Nin?" ucap Ratna sambil mengusap lembut pundak putrinya. Sementara Hanin hanya mengangguk dan memaksan seulas senyum untuk mamanya. Dirinya berusaha agar mamanya tak melihat kekhawatiran diwajahnya.
"Ya udah, kamu di kamar aja dulu ya. Nanti biar tante Citra yang manggil kamu kalo udah waktunya." Ucap Ratna lagi sambil berlalu keluar rumah untuk menyambut keluarga calon besannya. Sementara Hanin memutuskan untuk segera memasuki kamarnya.
***
Mobil yang dikemudikan Fadhlan akhirnya berhenti di depan pagar sebuah rumah tingkat dua yang bergaya minimalis dengan halaman yang cukup luas. Pemuda itu kemudian melajukan mobilya kembali setelah seseorang membukakan pintu gerbang. Kemudian memarkirkan mobilnya di area halaman rumah yang dikunjunginya tersebut, diikuti dengan beberapa mobil dibelakangnya.
"Lan buruan turun!" Fadhlan menoleh keluar mobil sembari menurunkan kaca mobilnya. Mamanya tersenyum kepadanya. "Kamu malu ya karena mau ketemu sama Hanin?" Ucap Nadia menggoda putra satu-satunya itu. sementara Fadhlan masih memasang ekspresi datar.
Fadhlan masih ragu jika harus bertemu dengan perempuan yang akan menjadi calon istrinya. Pemuda itu bahkan hanya berdiam diri di dalam mobilnya, padahal semua keluarga besarnya sudah keluar dari mobil dan menyalami keluarga dari perempuan yang akan dipinangnya hari ini.
Kalau saja keberadaan pemuda itu tidak ditanyakan oleh besannya mungkin Nadia masih belum sadar bahwa putranya itu masih belum keluar dari mobilnya.
***
Hanin mendengar suara pintu kamarnya diketuk, disusul intruksi tantenya yang meminta agar gadis itu membukakan pintu. Bergegas gadis itu kemudian membuka pintunya.
"Udah disuruh keluar ya Tan? Tanya Hanin kepada Citra.
"Belum. Ini tante cuma mau ngasih ponsel kamu. Farhat tadi nitipin ke tante. Tutur Citra sambil mengulurkan benda pipih itu. Hanin langsung menerima benda pipih itu dengan senyumnya yang mengembang.
"Makasih tan!" Ucap Hanin.
"Ya udah tante mau ke ruang tamu dulu. Mau bantu-bantu." Ucap Citra lagi kemudian meninggalkan kamar Hanin. Sementara Hanin mengiyakan sambil menghidupkan benda pipih di tangannya itu. Seketika Notifikisi langsung memenuhi layar ponsel gadis tersebut. Namun hanya satu yang menarik perhatian Hanin dan berhasil menimbulkan kembali pertanyaan di hatinya.
Ya Rabb. Apa arti ikhlas itu? Batin Hanin.
That's it. Kasian Saga 😐 Haninnya udah mau lamaran 😫 yang sabar ya Ga. Yang pro sama Hanin & Fadhlan pasti seneng banget ya 🙃
Info: update setiap Rabu dan Minggu. Stay toon on Wattpad. Don't forget to follow and vote.
XOXO uniyola 😘😍😄
KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA CINTA [END]
Teen FictionHanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian. Hanin melirik Fadhlan...