Yaa Rabb! Dekatkan Aku pada taqwa. Mudahkan hatiku untuk menerima ketentuan-Mu. Beri aku petunjuk dan ajari aku bagaimana harus bertindak. Hati ini masih belum condong kepadanya.
__Fadhlan Minallah A
Fadhlan melirik sekilas ke arah gadis yang baru saja masuk ke ruang pertemuan kedua keluarga. Pemuda itu tidak terkejut sama sekali jika gadis yang bernama Hanin itu mengenakan pakaian dengan warna senada dengannya. Bahkan itu memang pakaian couple.
Terang saja, pemuda itu memang turut menemani Nadia, mamanya untuk membeli pakaian yang ia dan gadis itu kenakan hari ini. Jangan kira itu kemauan Fadhlan, karena hal itu adalah resmi paksaan dari mamanya.
Sementara Hanin tetap menunduk tak berani menengok ke arah pemuda itu bahkan sampai dirinya duduk diantara mama dan bude nya.
"Wah cantiknya nak Hanin!" tutur Nadia sumringah. Dalam hati wanita paruh baya itu bahagia bahwa sebentar lagi Hanin akan menjadi menantunya. Pasalnya Nadia sangat ingin memiliki anak perempuan namun karena kondisi dirinya tak memungkinkan untuk hamil lagi, jadilah dirinya hanya memiliki satu anak yaitu Fadhlan putra tunggalnya.
Hanin hanya membalas ucapan Nadia dengan seulas senyumnya. Namun gadis itu tetap tak berani melirik ke arah Fadhlan walau hanya sekilas. Sementara Fadhlan diam-diam turut mengakui bahwa gadis itu memang cantik dengan pakaian yang dikenakannya.
***
Acara lamaran berlangsung dengan khidmat. Abian paman Hanin yang memoderatori berlangsungnya acara pun meminta Fadhlan untuk memimpin doa sebagai penutup. Setelah itu disusul sesi foto kedua keluarga.
"Nin, ayo foto bareng tante!" Nadia mengamit lengan Hanin kemudian mengajak gadis itu entah kemana, padahal bisa saja mereka berfoto disini. Namun Hanin hanya menuruti kemana langkah Nadia.
"Lan!" Nadia berseru memanggil putranya yang sedang memegang kamera. Sementara Hanin sedikit kaget karena Nadia menghampiri Fadhlan. Gadis itu melirik ke arah pemuda itu sekilas kemudian menunduk sambil menggenggam jemarinya.
"Kamu tolong fotoin mama sama Hanin ya!" tutur Nadia tanpa memperhatikan ekspresi Hanin yang sudah berubah. Pipi gadis itu sedikit memerah entah karena apa. Sementara Fadhlan hanya mengangguk, kemudian berdiri dan bersiap untuk membidikkan kameranya ke arah mamanya dan Hanin.
Kenapa tante Nadia harus nyuruh dia sih yang motoin. Batin Hanin.
"Nin, senyum dong. Kamu kayak mau foto KTP aja." Tutur Nadia kepada Hanin yang memang nampak kaku.
"Iya tante." Ucap Hanin pelan. Dalam hati gadis itu hanya dapat merutuk. Gimana bisa senyum kalo yang motoin dia. Batinnya. Terpaksa gadis itu tersenyum yang justru membuat Fadhlan menahan tawanya.
***
Hanin menutup mushaf Al-Quran ditangannya. Membaca firman-Nya sudah lebih dari cukup untuk menetralkan detak jantung gadis itu. Apa yang terjadi hari ini sudah berhasil membuat Hanin kembali tenggelam ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di kepalanya.
Gadis itu kembali teringat pesan yang sebelumnya ia baca. Pesan dari pemuda yang sempat meruntuhkan dinding yang ia bangun untuk hatinya. Menggugurkan misinya, bahwa hanya akan mencintai seseorang yang telah menjadi penyempurna agamanya.
Hanin tidak tau apa yang dilakukannya saat ini adalah benar atau salah. Gadis itu bahkan tidak memberitaukan siapapun termasuk sahabatnya Ana, perihal dirinya yang telah dilamar dan dalam kurun waktu seminggu akan melangsungkan pernikahan.
Harusnya Hanin memang sudah mencurigai mamanya mengenai perjodohan ini. Segala sesuatunya sudah memberikan petunjuk kepada gadis itu.
Dimulai dari mamanya yang menyuruhnya untuk mengukur lingkar jari dan mengukur ukuran pakaiannya beberapa bulan lalu. Ternyata diam-diam semua sudah dipersiapkan oleh kedua orang tuanya.
Hanin menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Dia tidak ingin menangis. Kenapa setelah acara lamaran terjadi dirinya baru merasakan penyesalan. Tetapi yang menjadi kebimbangannya kali ini adalah seorang Saga. Pemuda yang sudah jelas tak seiman dengannya.
Hanin melirik ponselnya yang tergeletak di atas kasur. Jari-jemarinya menuruti perintah otaknya untuk membuka kembali pesan dari Saga. Tidak, bukan untuk membalas. Gadis itu justru memblokir nomor pemuda itu.
Maaf Ga. Batin Hanin.
***
"Woy Bro!" Fadhlan mengusap dadanya ketika suara bariton yang sudah sangat dikenal mengagetkan dirinya. Dirinya hanya mendelik ke arah sahabatnya itu.
"Assalamualaikum!" Cengir Alif sebelum Fadhlan mengingatkan agar memberi salam terlebih dahulu.
Pletak!
"Auw!" Fadhlan sukses menggeplak kepala sahabatnya itu. dirinya beruntung ini bukan di mesjid. Jadilah dirinya bebas melancarkan niatnya. Sementara Alif tetap menyengir sambil mengusap kepalanya. Jangan bilang itu kasar, karena diantara mereka berdua sudah terbiasa melakukan KDPT_Kekerasan dalam pertemanan.
"Afwan! Kemarin nggak sempat datang pas lamaran." Tutur Alif.
"Iya nggak papa. kamu kan udah ngasih tau. Lagian Aku bersyukur kamu nggak datang Lif." jawab Fadhlan lega.
"Loh kok gitu. Biasanya orang seneng lho Lan, sahabatnya datang di acara pentingnya. Eh, Anta malah bersyukur ane nggak datang." Ucap Alif menggeleng tak percaya mendengar penuturan sahabatnya sambil memasang mimik kecewa yang dibuat-buat.
"Alah Lif. Aku tau gimana kamu. Kalo kamu hadir, pasti cuma bisa jail terus ngata-ngatain." Tutur Fadhlan, sementara Alif kembali menunjukkan cengirannya. "Tau aja anta!" ucapnya lagi.
Alif memperhatikan raut wajah Fadhlan yang tak berubah saat terakhir dilihatnya. "Jadi?" ucap Alif. Sementara Fadhlan mengkerutkan kening mencoba menangkap maksud sahabatnya itu.
"Jadi apa?" tutur Fadhlan. Alif hanya memutar matanya malas sambil membuang nafas kasar.
"Kenapa Anta masih murung. Anta masih ragu sama perjodohan ini?" tutur Alif. Sementara Fadhlan hanya mengangkat kedua bahunya pertanda ia pun juga tidak tau dengan hatinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA CINTA [END]
Ficțiune adolescențiHanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian. Hanin melirik Fadhlan...