25. BICARA

48 6 0
                                    

Sampai kapan sesuatu yang harusnya lurus harus tetap bengkok karena kondisi memanipulatif.

__Fadhlan Minallah. A


Hanin melirik rak buku yang berada di pojok kanan ruang tengah. Melihat buku yang tersusun rapi disana, membuat gadis itu tertarik menghampiri rak tersebut. Hanin sebenarnya tidak terlalu suka membaca, dirinya lebih suka menonton ataupun mendengarkan ceramah. Namun untuk mengusir kebosanan, jadilah dirinya melangkah ke arah jendela ilmu tersebut, siapa tau ada buku yang menarik untuk dibacanya.

Mata Hanin menyapu satu persatu buku-buku yang tertata rapi. Sebelum akhirnya sudut bibir gadis itu tertarik, pandangan matanya tertuju kepada sebuah buku dengan judul yang lucu menurutnya. Sesuai, batin Hanin. Dibaliknya satu persatu halaman buku yang berjudul Benih Cinta Perjodohan itu dan dibacanya dengan telaten. Sesekali dirinya tersenyum karena kondisi dirinya sama seperti yang disampaikan dalam buku itu.

"Assalamualaikum... Dek!"

Hanin bangkit segera ketika mendengar Fadhlan mengetuk pintu. Pemuda itu melempar senyum kepada Hanin ketika pintu dibuka. Entah kenapa, mulai saat ini Fadhlan hanya ingin memperlakukan istrinya lebih baik.

Hanin mengkerutkan keningnya, dirinya tak tau harus bereaksi seperti apa. Sementara Fadhlan menggaruk keningnya karena Hanin nampak kebingungan dengan sikapnya kali ini.

"Ehem!"

Fadhlan berdehem dan memandang Hanin. Istrinya itu masih setia menunduk sambil memainkan jemarinya. Suatu kebiasaan yang selalu tampak oleh Fadhlan. Pemuda itu mengulum senyum. Setelah hampir sebulan usia pernikahan mereka, baru saat ini dirinya sadar bahwa Hanin sangatlah pemalu dalam ketegasannya.

"Soal perjanjian waktu itu?"

Hanin melirik Fadhlan sekilas, gadis itu tidak nampak tercengang mendengar ucapan Fadhlan. Dirinya tau pasti apa maksud dari ucapan pemuda itu.

"Kamu salah paham!"

Hanin mengkerutkan kening, namun tetap menunggu ucapan Fadhlan selanjutnya.

"Saya tidak pernah ingin bercerai. Saya tau, Allah benci akan hal itu." Fadhlan memandang perempuan dihadapannya itu lamat-lamat. Entah kenapa matanya begitu nyaman melihat sosok dihadapannya.

"Kamu membenci saya?" Fadhlan bertanya dengan nada pelan namun matanya terpaku tepat di mata perempuan dihadapannya saat ini. Namun Hanin masih bergeming, pandangannya yang tadi tertuju ke arah Fadhlan sekarang sudah beralih ke ujung kakinya.

"Sekarang sudah terhitung satu bulan setelah kejadian malam itu. karena kebodohan saya semuanya jadi seperti ini. Saat itu, ucapan itu bukanlah hal yang saya maksud." Fadhlan menjeda kalimatnya kemudian menghela nafas sebelum kembali melanjutkan ucapannya. Sementara Hanin masih setia mendengarkan, kali ini dirinya sudah mempersiapkan hatinya, jika saja Fadhlan akan menceraikannya saat ini.

"Waktu itu, saya hanya ingin menjelaskan tentang kenapa saya meminta untuk membatalkan pernikahan kepada kamu. Tapi, entah kenapa justru kalimat itu yang keluar lebih dulu. Saya bingung, entah kenapa saya tiba-tiba grogi mengatakannya, sehingga kata cerailah yang terucap. Saya tidak pernah ingin punya sejarah gagal membina rumah tangga. Saya minta maaf sebelumnya, tetapi apa yang akan saya katakan kedepannya mungkin juga tidak akan membuat kamu merasa lebih baik."

"Maksud mas?" Hanin tiba-tiba mendongakkan kepalanya, berbalik menatap Fadhlan meski hanya sekilas.

"Pertanyaan tentang apakah kamu ingin bercerai waktu itu sebenarnya adalah keputusan yang akhirnya akan kamu pilih. Maafkan saya Hanin, tetapi saya dari awal berniat untuk berpoligami."

SABDA CINTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang