Aku tak akan pernah mungkin menentang Sabda Langit. Hanya saja, hatiku tak setangguh itu untuk menjalankannya.
__Hanindia Irawan
Hanin melirik ke arah Ana yang sedang menikmati Ayam Geprek kesukaannya. Dalam hati, Hanin ragu untuk menyampaikan apa yang menjadi ketakutannya kepada sahabatnya itu.
"An, aku boleh minta tolong?"
"Tolong apa?"
"Aku minta kamu nggak akan kecewa sama aku."
"Maksudnya? Kamu ngomong apa sih Nin?"
"Iya, maksud aku. Apapun yang terjadi kedepannya, aku harap kamu nggak akan kecewa ke aku An. Apapun yang terjadi."
Ana menatap lamat-lamat sahabatnya itu. Sekarang ini, Ana tau pasti ada yang disembunyikan Hanin kepadanya dan itu membuat dirinya tiba-tiba kehilangan selera makan.
"Apa ini ada hubungannya sama Saga Nin?"
"Aku nggak tau apakah ini berhubungan atau tidak. Entahlah, aku..."
Hanin mengusap air matanya yang tiba-tiba keluar. Dirinya tak dapat menyelesaikan ucapannya. Sementara Ana nampak terkejut dan langsung berdiri menghampiri sahabatnya itu.
"Udah nggak usah ngomong lagi, aku akan berusaha untuk nggak kecewa sama kamu Nin! Aku janji akan berusaha nggak kecewa!" Ana memeluk sahabatnya hangat, berusaha menenangkan Hanin yang masih menangis terisak-isak.
"Hanin kenapa An?" Syifa yang berniat hendak menghantarkan minuman, pesanan kedua temannya pun terlihat kaget melihat hal itu. Gadis itu langsung turut memeluk Hanin. Menciptakan pemandang hangat nan apik dari sebuah persahabatan.
*****
Ana melambaikan tangannya kepada Hanin sebelum masuk ke dalam mobilnya. Sebenarnya gadis itu cukup khawatir mengingat Hanin yang tadinya menangis sampai terisak-isak dan sekarang menolak untuk diantar pulang. Tak mau berpikiran macam-macam, mungkin Hanin hanya butuh waktu untuk sendiri. Walau dengan berat hati meninggalkan sahabatnya itu, Ana akhirnya memutuskan melajukan mobilnya. Sementara itu Hanin menarik nafas dalam dan menghembuskannya kasar.
Hanin berjalan gontai menuju halte. Gadis itu melirik arloji yang menunjukkan pukul setengah enam. Hanin kembali menghela nafas. Hampir seharian dirinya berada di kampus. Sekarang ini, dirinya hanya ingin pulang dan beristirahat. Kalau saja dirinya pulang ke pondokan, tentu saja dia akan bersedia diantar pulang Ana. Namun yang menjadi masalahnya adalah dirinya harus pulang ke kontrakan.
Hanin melirik mobil yang berhenti tepat di depan halte. Mobil itu mirip sekali dengan mobil milik Fadhlan. Gadis itu melirik ke kiri kanannya melihat siapa yang juga turut menunggu halte seperti dirinya, namun nihil. Lalu kenapa mobilnya berhenti dan membunyikan klakson, Batin Hanin.
"Dek, ayo pulang!"
Hanin membelalakkan matanya ketika Fadhlan muncul dari balik jendela mobil yang sudah diturunkan. Siapa sangka, mobil itu benar milik Fadhlan. Hal itu membuat Hanin bergeming ditempatnya. Kenapa bisa pas begini, Batin Hanin.
"Nin!"
Lagi-lagi Fadhlan memanggil namanya, membuat Hanin serta merta berdiri dan segera masuk ke mobil tanpa pikir panjang.
"Kenapa pulangnya sore banget?" tutur Fadhlan memecah keheningan. "Mas tadi nelpon kamu sampai beberapa kali, kenapa nggak di angkat?" tambahnya. Sementara itu Hanin masih setia diam, terlalu malas jika harus menanggapi Fadhlan. Fadhlan berdehem pelan karena Hanin mengacuhkannya. Namun usahanya tidak akan berhenti disana, walau bagaimanapun tanggapan Hanin nanti, dirinya tidak akan menyerah untuk membuat Hanin membuka hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA CINTA [END]
Teen FictionHanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian. Hanin melirik Fadhlan...