16. PESAN

34 4 0
                                    

Adakah pencampuradukkan antara kebebasan-ikhtiyar dan soal keterpaksaan-jabr. Manusia itu selalu berada antara dua keadaan, perkara yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. Aku dan dua pilihan yang kamu buat.

__Hanindia Irawan


From: Fadhlan

Maaf sebelumnya. Aku tidak dapat menjelaskan semuanya sekarang. Aku mohon kamu mau membatalkan pernikahan ini.

Hanin kembali membaca pesan yang masuk di ponselnya. Bukan karena tak dapat mencerna maksud dari pesan itu, tetapi justru maksud pesan itu adalah hal yang tak masuk akal jika dilakukannya sekarang. Mengingat pernikahannya akan dilaksanakan kurang dari dua hari lagi.

Dirinya tak mungkin mempermalukan keluarganya dan mengecewakan keluarga dari calon suaminya. Tetapi pemuda, calon suaminya itu memintanya untuk membatalkan pernikahan yang sudah berada di depan mata.

Hanin masih saja tak habis pikir. Kenapa Fadhlan mengirimkan pesan seperti itu kepadanya. Dirinya mendesah. Mencoba menarik sebanyak mungkin oksigen agar memenuhi paru-parunya. Namun sesak itu tak kunjung hilang. Dadanya terasa seperti di tikam sembilu. Air mata gadis itu seketika luruh di pipinya.

Ya Rabb, apa yang harus hamba-Mu ini lakukan? Batinnya.

*****

Ratna melirik Hanin yang sedari tadi hanya diam. Hanin juga sering nampak tidak fokus dengan siapapun saat berbicara. Sudah sejak tadi Ratna memperhatikan putrinya itu.

"Ma, tadi ada telpon dari tante Ambar, katanya untuk sovenir pernikahannya mau diantar atau mau dijemput aja?" tutur Dwi, adik Hanin.

"Dwi, kamu sini deh!" bukannya menjawab, Ratna malah mengamit lengan putranya agar lebih dekat dengannya.

"Kenapa ma?"

"Menurut kamu, kak Hanin kenapa Wi?" tanya Ratna kepada anak bungsunya itu dan Dwi langsung mengalihkan pandangannya kepada kakaknya. Pemuda itu melihat kakaknya seperti uring-uringan, namun dirinya bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan dari mamanya karena Dwi tidak pernah paham dengan makhluk yang bernama perempuan.

"Dwi nggak tau ma, mungkin grogi karena besok kan udah akad nikah ma. Kenapa mama nggak tanya langsung ke kak Hanin aja?" tutur Dwi.

"Udah mama tanya tadi Dwi!" seru Ratna.

"Terus kata kakak kenapa ma?"

"Kalo mama tau nggak mungkin nanya kamu nak. Kakakmu cuma jawab nggak papa, tapi kayak ada yang mau diomongin gitu. Kayak ragu-ragu."

"hmm..." Dwi hanya mendehem paham maksud mamanya. Ya begitulah, perempuan memang makhluk yang sulit untuk dipahami. Tidak salah lagi.

"Coba kamu tanyain gih!" Ratna mendorong Dwi ke arah Hanin, membuat putranya menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. Walau malas dan ribet, tetapi Dwi akhirnya melangkah ke arah kakaknya.

"Kak!" Hanin menoleh kepada adiknya. Dwi mengambil posisi duduk di samping Hanin.

"Kenapa Wi?" tanya Hanin, tumben sekali adiknya itu mendekat kepadanya. Biasanya, Dwi akan asyik sendiri. Entah itu sibuk dengan kuliah, organisasi atau hobinya.

"Nggak kak, mau ke kak Hanin aja. Toh, besok-besok nggak bisa selalu dekat kak Hanin." Tutur Dwi, entah kenapa kalimat itu yang muncul dari lisannya. Apakah suara hatinya. Jujur, ada rasa rindu kepada kakaknya itu, mungkin karena sebentar lagi kakaknya akan diboyong oleh keluarga suaminya nanti sehingga ada rasa kehilangan yang dirasakan Dwi.

Hanin tersenyum kepada adiknya, menutupi ngilu di hati yang semakin terasa setelah mendengar perkataan Dwi. Kalau saja adiknya tau perasaan Hanin yang sebenarnya. Jika saja Dwi tau Hanin kini bahkan merasa sangat-sangat terpuruk.

"Baperran kamu Ih! Kamu ngomong gitu, kayak kita jarak tinggalnya jauh aja wi. Tutur Hanin sambil merangkul pundak adik satu-satunya itu.

"Kak, perasaan kakak gimana?" kali ini, Dwi hendak menjalankan misi dari mamanya. Pasti nanti mamanya akan menagih jawaban kepadanya.

"Perasaan? Maksud kamu?" Hanin mengernyitkan keningnya. Apakah adiknya mengetahui sesuatu tentang dirinya? Batin Hanin.

"kakak bahagia dengan perjodohan ini?"

Pertanyaan yang dilontarkan Dwi yang secara tiba-tiba membuat Hanin bergemning. Gadis itu menarik nafas perlahan sampai-sampai rasa sesak di dadanya semakin terasa.

Jujur, Hanin ingin menangis dan membatalkan pernikahan ini, tetapi semuanya sudah terlambat. Kebahagian dirinya tidak lebih berharga dari kebahagiaan kedua orangtuanya. Hanin tidak bisa membayangkan dirinya mencoreng arang ke muka kedua orangtuanya. Belum lagi fitnah yang akan muncul jika pernikahan ini dibatalkan. Ditambah persiapan pernikahan juga sudah sembilan puluh persen.

"Kak!" Dwi mengibas-ngibaskan tangannya ke depan wajah Hanin membuat fokus gadis itu kembali ke adiknya.

"Kok malah melamun?" Tanya Dwi dengan kerutan di keningnya. Dwi memang tidak paham dengan perempuan tetapi hanya untuk membaca gelagat kakaknya Dwi tau bahwa kakaknya sedang tidak baik-baik saja. Entah apa pikir pemuda itu, tetapi Dwi tau Kakaknya sekarang sedang sedih bukanlah grogi.

"Kakak masih belum bisa nerima perjodohan ini?" Dwi memandang kakaknya lamat-lamat, jika benar dugaannya maka bisa diketahui ada apa dengan kakaknya itu.

Hanin menggeleng spontan mendengar pertanyaan yang dilontarkan adiknya. Menunjukkan seulas senyum di wajahnya berharap dapat menutupi adiknya yang mulai curiga, pikirnya.

"Siapa bilang kakak nggak nerima perjodohan ini! Seru Hanin, memasang mimik protes yang sengaja dilakukannya. Kakak cuma sedih karena nggak tinggal bareng Mama sama papa lagi, dan kamu." Timpalnya.

"Oh!" Dwi berseru lega. Ternyata apa yang terjadi tak seperti dugaannya.

"Kakak ngatain aku, nyatanya kakak juga baperran!" seru Dwi sambil terkekeh kecil. Pemuda itu hanya tidak tau saja kenyataannya.

*****

Fadhlan mulai merasa gusar. Hanin tidak membalas pesannya sama sekali. Padahal cuma ini harapan terakhirnya, namun nampaknya sekarang sudah tak ada kemungkinan lagi baginya untuk membatalkan pernikahan ini.

Tadinya Fadhlan pikir, jika Hanin yang membatalkan pernikahan ini maka keluarganya pasti mau tidak mau menyetujui. Entah apa yang merasukinya waktu itu, sehingga menuruti saja keinginan orangtuanya saat tau dirinya akan dijodohkan. Bukannya mau menjadi anak yang durhaka, tetapi seperti sebelum-sebelumnya, jika dirinya menolak dengan alasan yang logis mungkin orangtuanya akan menerima pendapatnya.

Tetapi, saat itu Fadhlan memang tidak bisa berkata apa-apa, bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Dan entah mengapa baru kini, hal yang sangat disesalkan Fadhlan adalah baru menyadari perasaannya sesungguhnya yang tak bisa dia matikan.

Walau sudah dipaksakan, Fadhlan masih belum bisa menyukai Hanin meski cuma sedikit. Bayangan tentang seseorang selalu menepis usahanya membuka hati untuk Hanin.

Fadhlan mengusap mukanya kasar, kali ini mau tidak mau dirinya akan berbicara langsung kepada orangtuanya.

****

Assalamualaikum....

hohoho. Author minta maaf banget, sekarang lagi sibuk revisi skripsi jadi update story nya ditunda dulu. Jujur nggak mau hiatus, merasa bersalah aja gitu. Maaf!

Terakhir, jangan lupa follow, vote dan comment buat dukung aku agar terus berkarya. Minta doanya semoga skripsiku dilancarkan dan nggak ada hiatus.

XOXO uniyola

SABDA CINTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang