Apakah perpisahan akan membawa kebahagiaan? Katanya, kita bisa memilih? Tapi faktanya, kenyataan begitu menyesakkan. Akhirnya, perpisahankah jawabannya?
__Hanindia Irawan
Hanin mengerjapkan matanya ketika cahaya lampu menyilaukan penglihatannya. Dengan pandangan yang sedikit kabur, gadis itu menyunggingkan senyum ketika melihat Ana yang sedang asyik membaca di sofa pojok ruangan. Melihat dari peralatan sekitar dan nyeri jarum ditangan, juga selang infus yang berada di samping ranjangnya, Hanin tau bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit.
"An!" Hanin memanggil sahabatnya itu. Walau dengan suara yang terdengar sayup, namun Ana masih bisa mendengarnya. Ana menoleh ke arah Hanin memastikan kalau dirinya tak salah dengar.
"Nin!" Seru Ana. Gadis itu sangat bersyukur melihat Hanin senyum kepadanya, dengan bergegas Ana menghampiri dan memeluk sahabatnya itu. "Akhirnya Nin."
"Auw!" lirih Hanin, membuat Ana sadar bahwa pelukannya menyakiti Hanin.
"Sorry!" lirih Ana dengan mimik yang tampak sangat lega, gadis itu menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Kemudian mendongak berharap air matanya tidak jatuh. Namun usahanya gagal, dirinya terlalu gembira hingga akhirnya menangis. Sudah dua hari dirinya berharap agar Hanin segera sadarkan diri.
"Kenapa nangis?" tutur Hanin, bingung melihat sahabatnya itu tiba-tiba menangis.
"Nggak tau, air matanya keluar gitua aja." Tutur Ana.
"Kenapa?" tanya Hanin lagi.
"Aku jahat ya Nin!" lirih Ana.
"Kamu ngomong apa sih An?"
"Bisa-bisanya aku nyuekin kamu, nggak mau dengerin kamu untuk ngejelasin apapun. Padahal kamu nahan semuanya sendiri." Ujar Ana sambil memeluk Hanin.
"Kamu lagi ngelantur? Aku yang salah An. Wajar kalo kamu marah kan, karena aku ngerahasian semuanya, padahal kamu sahabat aku. Aku minta maaf ya An?"
"Mas Adit udah cerita semuanya Nin. Aku tau kamu gimana. Aku ngerti kenapa kamu sampai ngerahasiain semuanya." Ana menjeda kalimatnya. "Mulai sekarang, kamu nggak perlu nanggung semuanya sendiri. Kamu bisa cerita sama aku tanpa perlu ada yang kamu rahasiakan. Aku masih sahabat kamu kan An?"
"An!" Seru Hanin. "Kamu kok malah nanya kayak gitu!"
Mas Adit sama Mas Fadhlan dimana An?" Tanya Hanin sambil melihat sekitar. Karena sejak tadi tidak ada tanda-tanda dari dua orang itu. sementara yang ditanya hanya bergeming.
"An?"
"Assalamualaikum"
Sebelum Ana menjawab pertanyaan Hanin, perhatian dua sahabat itu sudah teralihkan ke arah pintu. Pertanyaan Hanin mengenai Adit terjawab karena sepupunya itulah yang baru saja datang dan mengucapkan salam disusul oleh mamanya.
Hanin menjawab salam dengan sedikit terkejut karena mamanya sekarang berada di tempatnya. Belum sempat gadis itu bertanya, Ratna sudah lebih dulu menghambur memeluk putri semata wayangnya itu. Hanin mengkerutkan keningya ketika Ratna menangis terisak-isak.
"Ma?" ucap Hanin.
"Maafin mama sayang. Maafin mama. tutur Ratna sambil terus memeluk putrinya.
"Mama ngomong apa sih ma?" Hanin semakin mengkerutkan keningnya. diliriknya Ana dan Adit untuk memperoleh jawaban namun kedua orang itu sama-sama memalingkan muka sehingga Hanin menjadi semakin bingung.
"Ma! Mama jangan nangis gini? Hanin jadi bingung." Tutur Hanin lagi.
"Mama minta maaf sayang. Mama minta maaf." lirih Ratna.
KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA CINTA [END]
Teen FictionHanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian. Hanin melirik Fadhlan...