Mungkin dia tertawa dan mungkin dia juga menangis atau mungkin juga kamu akan terkejut dengan semua hal yang dia simpan di dalam hatinya.
__Hanindia Irawan
Hanin baru saja selesai melaksanakan sholat Isya di kamarnya. Gadis itu kemudian melipat mukenah, menyorong jilbab instant dan mengambil posisi nyaman di atas tempat tidur, berniat hendak membaca Al-Quran. Ketika baru membaca setengah halaman, pintu kamarnya di ketuk.Hanin kemudian menyudahi tilawahnya dan segera membuka pintu yang menampilkan sosok Fadhlan. Hanin merasa sedikit terkejut, gadis itu lupa bahwa kini dirinya resmi menjadi seorang istri.
"Assalamualaikum" tutur Fadhlan, yang dijawab langsung oleh Hanin. "Boleh masuk?"
Hanin membuka pintu lebih lebar, pertanda suaminya boleh masuk ke kamarnya. Fadhlan memasuki kamar Hanin, namun gadis itu masih bergeming di posisinya.
"Kamu ngapain masih di sana?" pertanyaan Fadhlan kontan membuat Hanin gelagapan. Malu-malu dirinya melangkah tetapi tidak tau hendak melangkah ke bagian mana kamar. Haruskah dia mendekat ke arah Fadhlan yang sudah mengambil posisi duduk di atas tempat tidurnya? Batin Hanin.
"Mendekatlah!" ucap Fadhlan. Pemuda itu mengambil kursi yang berada di dekat meja rias Hanin dan menyuruh gadis itu duduk disana, dan Hanin menurut.
"Ada yang mau saya bicarakan?" ujar Fadhlan, mengusir keheningan yang tercipta beberapa waktu lalu. Hanin masih bergeming, menunggu Fadhlan mengucapkan kalimat selanjutnya.
"Saya minta maaf!" kalimat itu keluar dari mulut Fadhlan. "Saya tau ini juga pasti tidak mudah bagi kamu" Hanin mengernyitkan kening, mencerna maksud dari perkataan suaminya. "Perjodohan ini!" seru Fadhlan, membuat Hanin paham maksud Fadhlan.
"Pesan waktu itu, sengaja saya kirimkan agar kamu mau membatalkan pernikahan kita. Tetapi karena kamu tidak membalas pesan dari saya. Disitulah saya sadar, pernikahan kita yang hanya tinggal hitungan jam dan tentu saja tidak mungkin dibatalkan." ujar Fadhlan lagi, sementara Hanin masih setia mendengarkan.
"Jujur, saya tidak mau menyakiti perempuan. Saya punya Ibu dan saya sangat menyayangi beliau. Saya tau ini tidak masuk akal, tetapi saya mohon kamu dapat mengabulkan permintaan saya nantinya." Fadhlan menarik nafas lega, setidaknya sampai saat ini, separuh isi hatinya telah tersampaikan.
"Permintaan?" tanya Hanin yang lebih mirip menggunakan.
Fadhlan bergeming, melirik wajah di hadapannya. Seorang gadis yang bahkan semua tentangnya sudah ditelisik oleh pemuda itu diam-diam sebelumnya. Fadhlan memang lebih dulu tahu tentang perjodohan mereka. Jadilah pemuda itu mencari tahu semua tentang Hanin. Gadis yang memiliki kepribadian baik dan hampir tanpa celah, sehingga tak ada alasan baginya untuk menolak perjodohan oleh kedua orangtuanya.
"Kamu mau cerai..." tutur Fadhlan yang terdengar abstrak, yang membuat pendengarnya bingung mengartikan apakah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan.
Hanin merasa telinganya berdenging. Dirinya pasti sudah salah dengar, Pikirnya. Pernikahan tidak sebercanda itu bukan? Suasanapun berubah menjadi tak bersahabat.
"Bisa ulangi lagi." Hanin bangkit dari tempat duduknya, meminta suaminya mengulang kembali ucapannya.
"Cerai..."
Fadhlan berucap dengan terbata-bata. "Maksud saya yang kamu dengar__"Plak!
Fadhlan terpaku memegang pipinya, belum sempat menyelesaikan ucapannya, Hanin sudah melayangkan tamparan di wajahnya. Setelah itu Hanin bergerak mundur. Jari jemarinya saling meremas. Pergerakan itu tak disengaja, tangannya reflek menampar Fadhlan. Sungguh tidak ada niatnya menampar orang yang sudah menjadi suaminya. Hanin memegang dadanya yang tiba-tiba sesak. Gadis itu kemudian mulai terisak, apa yang baru saja Fadhlan ucapkan sudah sangat cukup membuat dirinya merasa dipermainkan.
Hanin mencoba berdiri tegak. Pandangannya hanya tertuju ke kakinya, tak sudi melihat pemuda itu, bahkan kini penglihatannya sudah mulai buram karena air mata yang mulai berlinang. Tidak, Hanin tidak ingin pingsan sekarang. Tetapi tenaganya seakan meluap entah kemana.
Sudah tak sanggup menopang tubuhnya, Hanin kemudian luruh ke lantai, sungguh dirinya merasa lemas tak bertenaga.
Sementara itu, Fadhlan masih bergeming di posisinya. Tak tega melihat Hanin menangis dan itu karena dirinya. Fadhlan terima jika Hanin menampar atau bahkan memakinya, asalkan gadis itu tidak menangis. Fadhlan tidak bisa melihatnya.
Hanin beristighfar dalam hati. Sungguh baru kali ini dirinya bertemu dengan pemuda pengecut seperti Fadhlan. Sayangnya, pemuda itu resmi menjadi suaminya sekarang. Suami yang membuatnya berjanji kepada pemilik hati yang sejati, bahwa ia akan menerima dan mencintai Fadhlan. Entah ujian apa yang sedang diberikan Tuhan kepadanya.
Sudah hampir satu jam Hanin menangis terisak. Susah payah dirinya meredam suara tangisnya agar tak mengundang orang tua dan mertuanya datang menemui mereka. Sungguh, jika tidak memikirkan keluarga besar, Hanin mungkin sudah menangis histeris sekarang.
Fadhlan pun tak bisa berbuat apa-apa. Sebenarnya maksud Fadhlan tidak seperti yang dipikirkan Hanin. Fadhlan belum menjelaskan semuanya kepada gadis itu.
Fadhlan bangkit dari duduknya, kemudian melangkah mendekati Hanin. Mimik muka Fadhlan jelas menyiratkan keraguan. Selama ini dirinya tak pernah berada di posisi yang terlalu dekat dengan perempuan yang bukan mahramnya. Walau ragu, Fadhlan kemudian mengulurkan tangannya hendak merangkul Hanin, bukankah gadis itu sudah menjadi istrinya.
Hanin yang saat itu langsung sadar akan kehadiran Fadhlan kemudian langsung menepis tangan pemuda itu.
"Saya nggak butuh belas kasih kamu!" Seru Hanin. Matanya memandang tajam ke arah Fadhlan, kemudian gadis itu menunduk lagi, kembali terisak. Sementara Fadhlan membeku di tempat. Bukannya berhenti menangis, pemuda itu malah membuat Hanin semakin terisak.
"Saya tidak menyangka akan berjumpa dengan laki-laki seperti kamu." Tutur Hanin, saat berhasil mengatur nafasnya. "Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Allah, kamu tau nggak!" seru Hanin mulai terisak lagi. "Tapi kalo kamu maunya begitu, nggak papa. Saya terima permintaan kamu untuk cerai." Cetusnya lagi sambil mengusap air matanya. Hanin tidak mau pemuda itu meremehkannya.
"Tapi ada syaratnya!" Tutur Hanin lagi. "Kita bercerai satu tahun lagi." tambahnya.
Fadhlan menatap Hanin tak percaya. Pemikiran gadis itu sungguh jauh diluar dugaannya. Fadhlan tidak merencanakan seperti itu tadinya. Memang dirinya yang salah penyampaian. Bukan perceraian maksud Fadhlan, tetapi Hanin tak memberikan dirinya kesempatan untuk menjelaskan lebih lanjut.
*****
Saga melirik wajah cemberut Ana ketika tak sengaja dirinya membentak sepupunya itu. Ana tadi merangkul Saga dari belakang yang sudah menjadi kebiasaannya. Padahal Saga sudah mengingatkan gadis itu agar jangan melakukan hal itu lagi. Saga kini tau, bahwa Ana dan dirinya bukan muhrim, jadi tak boleh lagi bersentuhan seperti dulu.
"Maaf! Jangan ngambek!" lagian kan kemarin aku udah ingatin kamu!" seru Saga. Sementara Ana menghentak-hentakkan kakinya meninggalkan Saga.
"Ck... baperran!" ledek Saga. Sementara Ana tidak berniat membalas sepupunya itu.
Saga menggeleng-gelengkan kepala saat melihat Ana tertawa menonton kartun kesukaannya. Cepat sekali mood sepupunya itu berubah.
"Udah bisa ketawa?" Tutur Saga sambil menduduki kursi single di sisi kanan sepupunya itu. Sementara Ana tak menggubrisnya.
"Udah bisa ketawa tapi ngambeknya masih!" ketusnya. Dan lagi-lagi Ana tidak menyahutnya. Tak biasa gadis itu seperti itu.
"Jangan gitu dong An, aku butuh bantuan ini, mau ngelamar Hanin!" Seru pemuda itu membuat Hanin memekik histeris.
"What! Beneran?"
*****
Assalamualaikum guys!
Alhamdulillah bisa update. Semoga suka!
Dont forget to vote and comment!
XOXO uniyola
KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA CINTA [END]
Teen FictionHanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian. Hanin melirik Fadhlan...