Siapa sangka, pijakan ini begitu sempit. Kenapa kita dipertemukan lagi untuk yang kedua kalinya. Bahkan entah sampai kapan terus dipertemukan?
__Hanindia Irawan
Hanin melirik sekilas ke arah pemuda yang duduk disebelah perempuan paruh baya yang dirinya ketahui sebagai Tante Nadia, mama dari pemuda yang bernama Fadhlan. Lalu siapa pemuda itu? Fadhlankah? batinnya.
Sementara pemuda itu terlihat acuh tak acuh. Namun sesekali tersenyum ke arahnya. Lebih tepatnya ke arah mamanya.
"Nak Fadhlan lagi nyusun skripsi juga ya?" Tanya Ratna kepada pemuda itu.
Deg!
Apa? Ya Rabb! Batin Hanin. Gadis itu nampak begitu pucat mengetahui pemuda itu adalah Fadhlan.
"Iya tante, sekarang memang lagi nyusun skripsi." Jawab Fadhlan dengan senyum yang menghias di wajahnya. Sekilas pemuda itu melirik ke arah Hanin dengan tatapan yang dapat dimengerti oleh Hanin.
Hanin melirik ke arah kaki pemuda itu yang terbalut perban. Gadis itu meringis mengingat luka hasil perbuatannya itu. Siapa sangka, pepatah dunia hanya selebar daun kelor berlaku untuk dirinya sekarang.
Hanin diam tidak memperhatikan mamanya, tante Nadia dan Fadhlan yang sudah tenggelam dalam perbincangan mereka. Gadis itu masih merasa sungkan dan canggung. Apalagi mengingat pertemuan dirinya dan Fadhlan pertama kali. Entah kenapa, Hanin merasa Fadhlan yang menelpon dirinya saat itu adalah orang yang berbeda dengan pemuda ini. Dingin, sikap pemuda ini begitu dingin yang pastinya hanya ditujukan kepadanya.
"Nin! Hanin! Nin!" Ratna mencubit pinggang Hanin pelan membuat gadis itu meringis.
"Kenapa sih ma?" Tanya Hanin pelan setengah berbisik.
"Kamu jangan bengong aja, tante Nadia nanyain kamu tuh!" Ucap Ratna tak kalah pelan.
"Nak Hanin umurnya udah 22 ya?" Tanya Nadia kepada gadis itu.
"Iya tante, Hanin udah 22." Jawab gadis itu sambil tersenyum.
"Wah berarti beda satu tahun ya sama Fadhlan." Nadia berbicara dengan antusias. Sementara Hanin hanya tersenyum tipis. "Kamu tau nggak, tante dulu nikah sama om pas seusia kamu dan Fadhlan loh!"
Hanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian.
Hanin melirik Fadhlan sekilas. Raut wajahnya datar dan pemuda itu juga terlihat santai. Tenang Hanin. Ini cuma candaan Ibu-ibu. Batinnya.
***
Hanin melirik ponselnya yang berada di atas nakas. Benda pipih itu menjeritkan sholawat favoritnya.
"Sombong ya!" Hanin tersenyum tipis seketika mendengar suara sahabatnya itu.
"Apa sih An, sorry deh belum sempat ngasih kabar." Ucap gadis itu.
"Udah biasa kali!" Ucap Ana sambil mencebikkan bibirnya yang pastinya tak dapat dilihat oleh Hanin. "kamu selamat sampai rumah kan Nin?" lanjutnya.
"Kalo nggak selamat terus yang ngobrol sama kamu siapa An?" Hanin terkekeh mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
"Aku kangen Nin, disini nggak ada yang gantiin posisi mama aku." Tutur Ana. Hanin memang tipikel sahabat yang sangat perhatian, bahkan perhatian Hanin seperti Ibu terhadap anaknya menurut Ana.
"Apa sih An, Aku bukan Ibu-ibu ya!" cibir Hanin. "Dan lagi aku nggak kangen sama kamu tuh!" candanya.
"Oh jadi gitu ya!" Ana berucap dengan nada kecewa seolah-olah merajuk dan Hanin tau itu, gadis itu hanya terkekeh. "Saga udah balik ke Jakarta." Ucap Ana lagi. Hanin hanya mengernyitkan keningnya. Apa hubungannya dengan dirinya? Batin Hanin. "Cuma ngasih tau!" lanjut Ana lagi karena Hanin hanya diam tak merespon.
"Apa sih An?" ucap Hanin bingung dengan apa yang diucapkan sahabatnya.
"Dia kecewa katanya Nin." Lanjut Ana.
"Kecewa kenapa?" tanya Hanin semakin tak mengerti namun juga penasaran.
"Nin. Kalo seandainya Saga mualaf, kamu mau nggak nerima dia. Kasihan sepupu Aku Nin, masih muda udah patah hati." Tutur Ana pelan namun terdengar jelas oleh Hanin.
Hanin masih bergeming. Bukannya tidak tau perihal Saga yang menyukainya. Karena pemuda itu jelas sudah menyatakan rasa sukanya kepada Hanin. Dan tak juga Hanin pungkiri bahwa dirinya agak tertarik kepada Saga. Namun perbedaan diantara mereka yang sangat kentaralah yang membuat Hanin tak bisa mempertimbangkan pemuda itu.
"An, Aku ngantuk. Ngobrolnya udahan ya, sambung besok aja." Ucap Hanin. Entah kenapa setiap membicarakan hal ini membuat mood Hanin menjadi buruk.
Ya Rabb. Apakah salah jika hati ini menyukainya. Batin Hanin. Atau sebenarnya Hanin memang sudah begitu tertarik kepada pemuda itu.
"Ya udah. Nin! Kamu jangan marah ya. Sorry banget Aku tadi ngasih id Line kamu ke Saga." Ucap Ana pelan berharap Hanin tak kecewa padanya.
"Ya udah. Udah di kasihin juga kan." Jawab Hanin datar.
"Jangan marah ya Nin!" Ucap Ana memelas.
"Iya, aku nggak marah. Ya udah An, aku matiin ya." Setelah mendengar deheman dari seberang, Hanin memutuskan sambungan. Meletakkan ponselnya di atas Nakas.
Gadis itu melirik beberapa frame yang ada di atas Nakasnya. Salah satu diantaranya berhasil mengalihkan perhatian Hanin. Diambilnya salah satu frame tersebut. Dipandangnya potret yang ada disana. potret dirinya dan Ana, juga seorang pemuda yang tak lain adalah Saga. Gurat kesedihan kini terlihat di wajah gadis itu.
Astaghfirullah. Engkau mengetahui apa-apa yang terbaik untuk hamba-Mu, sedang hamba-Mu ini tak mengetahui apa-apa yang terbaik untuk dirinya. Aku berserah diri kepadamu Ya Rabb. Ikat aku dengan seseorang yang mencintai-Mu. Batin Hanin.
Yuuuhuuu...
Yang nantiin partnya Saga. Hahaha... disebutin dikit aja namanya. maafkan aku. sekarang bukan partnya Sagara Hadinata. xoxo uniyola
KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA CINTA [END]
Teen FictionHanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian. Hanin melirik Fadhlan...