Setiap arah tujuan pasti memiliki jalannya. Aku tidak tau pasti apakah jalan ini menuju ke arah yang aku tuju. Hanya saja, hatiku menuntunku untuk memilih dan menapaki jalan ini.
__Hanindia Irawan
Hanin memicingkan matanya. Mencoba untuk menahan rasa sakit yang mungkin akan segera diterimanya. Keputusannya sudah bulat. Walau kedua orang tuanya begitu menentang, tetapi Hanin sudah begitu yakin bahwa kembali kepada Fadhlan adalah jawaban hatinya.
Hanin sendiri bingung. Kenapa dirinya malah ingin kembali kepada Fadhlan, padahal tadinya Hanin sangat membenci laki-laki itu. Apa mungkin dirinya telah jatuh hati kepada Fadhlan. Hanin teringat hari dimana laki-laki itu mengucap ijab kabul saat akad. Hanin memang tidak bisa memungkiri, dirinya merasakan sensasi yang berbeda, hatinya berdesir saat Fadhlan mencium lembut keningnya. Hanin tidak tahu apakah itu karena cinta atau bukan, namun Hanin telah ikhlas dan menerima sepenuhnya, Fadhlan yang akan menjadi Imam dan separuh agamanya.
*****
"Pa!" Seru Ratna sambil mengamit lengan suaminya. Irawan yang tadinya murka akhirnya hanya membuang muka. Laki-laki paruh baya itu menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Mendengar keputusan Hanin sudah cukup membuat dirinya sesak namun lega dalam satu kondisi.
"Kamu yakin nak?" Ratna menghampiri putrinya, hendak memastikan bahwa Hanin sungguh-sungguh dengan ucapannya.
Hanin mengangguk. "Hanin rasa semua ini juga tidak adil untuk mas Fadhlan Ma."
"Rupanya kamu sudah termakan ucapan pemuda itu." Sambar Irawan. "Papa heran sama kamu!" cetusnya.
"Pa, kita dengarkan Hanin dulu boleh ya?" Tutur Ratna mencoba menenangkan suaminya."Coba jelaskan sama Mama dan Papa Nin!" Ratna menarik tangan Suaminya untuk duduk.
Hanin menggenggam jemarinya. Dia perlu keberanian untuk menyatakan hal yang sebenarnya kepada orang tuanya. Setelah menarik nafas dalam dan mempersiapkan diri Hanin menatap kedua orangtuanya.
"Semua ini bukan kesalahan Mas Fadhlan sepenuhnya Ma, Pa" lirih Hanin.
"Papa tahu kamu akan membela pemuda itu" sambar Irawan.
Ratna menggenggam jemari Irawan dengan lembut dan memandang suaminya lamat-lamat. Mengerti maksud istrinya, Irawan akhirnya diam.
Hanin menunduk. "Hanin juga salah. Mas Fadhlan tidak pernah bermaksud untuk menceraikan Hanin. Hanin yang salah paham dengan ucapan Mas Fadhlan. Hanin kira Mas Fadhlan berniat hendak menceraikan Hanin. Makanya Hanin yang mengusulkan perjanjian untuk bercerai setelah setahun pernikahan." Tutur Hanin.
"Astaghfirullah Nin!" Ratna menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara Irawan menarik nafas dalam dan menghembuskannya kasar.
Hanin menangis tersedu-sedu setelah menyampaikan apa yang selama ini ia simpan.
"Tujuan kalian melakukan itu untuk apa?" Ratna tidak habis pikir dengan putrinya itu. "Lalu Fadhlan setuju?"
Hanin menggeleng. "Waktu itu, Mas Fadhlan nggak ngomong apa-apa Ma. Hanin ngelakuin ini semjua karena nggak mau ngecewain Mama sama Papa. Hanin tau tindakan Hanin salah. Itu sebabnya Hanin nggak pernah tenang dan terus kepikiran tentang itu" jelas Hanin sambil terisak.
Ratna memeluk Hanin erat. Sementara Irawan hanya menunduk sambil mengusap mukanya.
"Ya Allah Nin. Kenapa kamu nggak pernah cerita ke Mama sama Papa, nak" keluh Ratna.
"Ma, Mas Fadhlan udah jelasin ke Hanin semuanya Ma. Mas Fadhlan bilang nggak pernah punya niat untuk menceraikan Hanin. Hanin percaya sama Mas Fadhlan Ma. Jadi Hanin mohon, Mama sama Papa mau maafin Mas Fadhlan." Tutur Hanin lagi. Gadis itu mendongak menatap Mamanya, berharap Ratna menuruti permintaannya.
"Ma Hanin mohon! Hanin nggak mau cerai..." lirih Hanin lagi.
Irawan bangkit dari tempat duduknya. "Lalu bagaimana dengan poligami? Kamu siap?" Sambar Irawan.
Hanin terdiam mendengar ucapan papanya yang begitu menohok. Gadis itu mengusap kedua pipinya. "Hanin siap Pa" tuturnya mantap.
*****
Saga menghampiri Ana yang sedang asyik menonton kartun kesukaannya. Sepupunya itu bahkan tidak mengalihkan fokusnya dari TV ketika Saga datang.
"Segitu sukanya ya?"
Ana menoleh kesampingnya. "Eh, kapan kamu datang?"
"Barusan" jawab Saga. "Yang tadi siang teman kamu?"
Ana mengerutkan keningnya. "Tadi siang?" serunya. "Maksud kamu Syifa?"
Saga mengangguk. "Wajahnya nggak asing. Rasanya aku pernah ketemu?"
"Ketemu? Kamu sama Syifa?" Ana mengernyitkan keningnya. Sementara Saga tak lagi berkomentar.
"Aku malam ini nggak pulang ya An." Saga melirik Ana yang menatapnya dalam artian meminta penjelasan. "Biasa, ada halaqoh" jelas pemuda itu.
"Emang halaqohnya rutin setiap minggu Ga?" tanya gadis itu.
"Ya begitulah, Aku jalan dulu. Kamu jangan terlalu malam tidurnya, mentang-mentang udah selesai kompre" nasehat Saga. Sementara itu, Ana mengabaikan begitu saja ucapan sepupunya itu dengan berpura-pura kembali fokus kepada kartun kesukaannya. Hal itu membuat Saga menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan lupa kunci pintu." Ujarnya lalu berlalu menuju keluar rumah.
*****
"Payah lo Ga!" decak seorang dari seberang.
"Payah?" Saga bertanya sambil mengkernyitkan keningnya. Benda pipih itu dipindahkan ke telinga kirinya.
"Lo ngambil magang di RS Padang kan!" suara kecewa dari seberang masih dapat di dengar Saga dari seberang.
"Lo kok bisa tau Ji?" Saga sedikit terkejut mendengar pernyataan sahabatnya itu.
"Apa sih yang Gue nggak tahu tentang Lo!" sambar Oji.
"Serius ini, gue kan belum ngasih tahu siapa-siapa. Pembimbing Akademik Gue aja belum tahu!" cetus Saga.
"Feeling Gue yang ngasih tahu. Njir, ternyata beneran. Ah, gue nggak mau tahu, lo harus tanggung jawab ATM gue jauh dari gue".
Saga tersenyum tipis. Dirinya tahu Oji bercanda, walaupun Saga sering membayari sahabatnya itu adalah fakta. "Masih belum pasti Ji, bisa atau nggaknya gue magang disini" ujarnya.
"Oh, kalo gitu gue doain nggak bisa. Gila! Gue dicecarin mulu sama fans lo, capek gue ngadepin!" gerutu Oji.
"Lo sabar aja Ji, memang belum pasti sih, tapi gue usahaain jadi pasti gue magang disini" kekeh Saga.
"Ah, Lo sob! Tega lo ama gue lo!" Oji berujar dengan nada kecewa membuat Saga kembali terkekeh hingga sebuah pertenyaan membuat pemuda itu seketika terhenyak.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA CINTA [END]
Teen FictionHanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian. Hanin melirik Fadhlan...