Kadang aku bertanya-tanya. Adakah rasa dalam setiap perlakuan manismu? Entah kenapa, aku merasa bahagia, walau nyatanya hal itu hanya karena dirimu simpati kepadaku.
__Hanindia Irawan
Setelah berwudhu, Hanin kemudian mengenakan khimar instantnya dan beranjak meninggalkan kamar Fadhlan menuju kamarnya untuk melaksanakan qiyamul lail. Setelah itu, dirinya memutuskan untuk tilawah karena entah kenapa, kejadian tadi cukup membuat dirinya resah. Bahkan, ingatannya selalu memutar kejadian tadi.
Hanin menghentikan tilawahnya ketika mendengar kamarnya di ketuk. ketukan di pintu kamarnya itu membuat jantungnya kembali berdetak kencang. Apa sebenarnya yang terjadi terhadapnya, pikir Hanin. Dengan pelan dan ragu-ragu, kemudian Hanin menarik gagang pintu kamarnya.
"Udah selesai? Kalo udah, ayo sahur bareng!" Tutur Fadhlan ketika pintu kamar gadis itu terbuka. Sementara yang ditanya masih setia diam.
"Dek?" Fadhlan melambai-lambaikan tangannya di depan Hanin membuat gadis itu gelagapan.
"Iya!" seru Hanin. "sebentar." Tambahnya. Hanin kemudian menutup pintu kamarnya mengganti mukenah dengan khimar instan. Setelah itu dirinya melangkah keluar kamar. Hanin tidak tau apa yang terjadi kepadanya saat ini. Ia sendiri bingung, kenapa dirinya menurut saja dengan perkataan Fadhlan.
Sekarang dirinya bahkan berdiri kaku di dekat dapur yang memang tak bersekat dengan meja makan. Diatas meja yang berbentuk segi empat dengan ukuran sedang itu, sudah tertata makanan untuk santapan sahur. Fadhlan pun sudah duduk sambil memegang al-quran disana. barulah ketika Fadhlan melirik ke arahnya, Hanin kemudian mendekat meski dengan keraguan terselip di hatinya.
Hanin tau, Fadhlan melirik ke arahnya. Namun dirinya masih setia diam karena jelas merasa canggung dan lagi keheningan yang tercipta.
"Ayo mulai makan." Tutur Fadhlan memecahkan keheningan. Pemuda itu kemudian menyendokkan nasi dan menyodorkannya kepada Hanin. Sungguh Hanin benar-benar bingung sekarang, mengapa Fadhlan bersikap semanis ini terhadapnya. Namun dirinya menerima piring itu walau dengan mimik penuh tanya.
"Mas mau ngomong sama kamu." Tutur Fadhlan setelah berhasil menelan makanannya, membuat Hanin melirik pemuda itu sekilas. "Tapi nanti setelah kita selesai sholat subuh." Timpalnya. Hanin hanya menganggukkan kepala, enggan bersuara.
*****
Saga merapikan posisi pecinya yang sedikit miring. Setelah dirasa rapi, pemuda itu kemudian tersenyum dan melangkah keluar kamar. Dirinya berniat untuk melaksanakan sholat subuh di mesjid yang agak jauh dari rumahnya. Itulah sebabnya dirinya bergegas.
Saga nampak begitu senang. Betapa tidak, dirinya kini tak perlu menyembunyikan fakta dirinya telah menjadi mualaf. Tadinya Saga pikir, orangtuanya akan menentang keras karena dirinya berpindah keyakinan. Tetapi ternyata, orangtuanya hanya bersikap biasa-biasa saja dan tidak mempermasalahkan hal itu.
Kata mamanya, yang penting kamu nggak aneh-aneh, Ga. Saga bahkan terus terbayang saat mengingat dirinya tertangkap basah oleh mamanya saat sedang melaksanakan sholat. Saat itu Saga merasakan bahwa wajahnya seketika berubah pias karena baru saja selesai salam, ternyata mamanya sudah duduk disampingnya. Beruntung, apa yang ditakutkannya tidak pernah terjadi.
Saga bersyukur dalam hati. Dirinya Sekarang hanya harus segera melaksanakan tujuan awalnya yang semalam sempat tertunda. Yaitu melamar gadis yang dicintainya.
Pemuda itu melangkah dengan senang hati. Mengeluarkan motor matic yang biasa digunakan Ana karena dirinya sedang malas menyetir Honda Jazz putih milliknya. Setelah memanaskan mesin motor sebentar, pemuda itu kemudian melajukan motornya ke mesjid An-Nur, cukup jauh dari komplek perumahannya. Saga sekalian hendak bertemu dengan seseorang disana.
*****
Fadhlan merasa sudah baikan, bahkan sangat-sangat baik. Padahal dirinya belum meminum pil yang diberikan dokter untuknya. Pemuda itu melangkah keluar kamarnya setelah mengganti pakaiannya dengan koko.
"Kamu mau ikut mas sholat di mesjid?"
Fadhlan bertanya sambil memandang Hanin yang baru siap membereskan meja bekas sahur tadi. Gadis itu menggeleng cepat, merespon pertanyaan darinya, hal itu membuat pemuda itu tersenyum tipis.
"Jangan pulang ke asrama dulu, tunggu mas pulang dari mesjid. Setelah itu kita bicara." Tuturnya lagi yang diangguki oleh Hanin.
Hanin menatap punggung Fadhlan sampai menghilang di balik pintu. Kemudian melirik jam dinding, masih dua puluh menit lagi sebelum adzan subuh. Tetapi Fadhlan sudah berangkat jam segitu.
******
Saga menyambut uluran tangan seorang pemuda yang menyebut namanya Alif. Dirinya memang sengaja sholat di mesjid yang berada jauh dari rumahnya, dikarenakan harus bertemu dengan Alif. Dirinya mengikuti saran dari Adit untuk mengikuti halaqoh.
Hanya itu yang bisa Adit lakukan karena rencananya ke Padang bersama dengan Saga terpaksa gagal sebab ada beberapa urusan magang yang belum selesai. Oleh karena itu, Adit menyuruh Saga untuk menghubungi Alif yang merupakan teman dari Adit sendiri. Jadilah, semalam ketika dihubungi, Alif memintanya untuk datang sholat subuh di mesjid ini.
"Bang Alif ceramahnya bagus." Puji Saga.
"Penceramah kondang ini mah." Fadhlan yang baru datang menimpali sambil menepuk pundak sahabatnya itu. Sementara Alif bersikap biasa-biasa saja, dirinya hanya tersenyum tipis. Tadinya, pimpinan mesjid mendatangi halaqoh mereka. Meminta salah satunya menggantikan penceramah yang mendadak tidak bisa hadir. Adit kemudian yang bersedia.
"Anta udah sehat?" tanya Alif melirik sahabatnya itu yang dijawab hamdalah oleh Fadhlan.
"Terus kok anta sholat disini?" tanya Alif mengkerutkan kening. Karena ini sudah terlambat jika pemuda itu hendak menghadiri halaqoh. Karena selain telah selesai, Mentor dan anggota lainnya juga sudah pulang sebelum sholat subuh tadi karena memiliki hajat.
"Mau ketemu ustadz." Tutur Fadhlan. "Merasa bersalah karena nggak hadir. Mumpung udah baikan, makanya kesini. Tadinya sih pikirku, walaupun telat setidaknya bisa salaman." Cengir Fadhlan yang memang berangkat lebih awal karena sengaja menyusul ke mesjid tempat halaqohnya.
Tetapi mau dikata apa lagi, Fadhlan hanya bertemu dengan Alif yang diminta mengisi ceramah. Sementara itu, Saga senantiasa memperhatikan dialog dua sahabat yang berada dihadapannya dengan seulas senyum.
"Oh iya Lan. Ini Yusuf, anggota baru halaqoh kita. Tutur Alif menepuk pundak Saga yang memang memperkenalkan dirinya dengan nama Yusuf.
Fadhlan mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Saga. "Si Fadhlan ini sudah menikah Suf." Tutur Alif lagi, yang langsung dihadiahi geplakan di kepala pemuda itu.
"Anta kenapa mukul ana?" ketus Alif. Sementara Fadhlan memutar bola matanya malas.
"Ngapain tiba-tiba bahas itu?" ucap Fadhlan tak kalah ketus, membuat Alif nyengir kuda. Fadhlan mendadak kesal karena ulah sahabatnya itu. "Saya pamit pulang dulan ya, Yusuf." Tuturnya lagi sambil bersalaman dengan Saga, kemudian berlalu.
Alif hanya melongo karena Fadhlan tidak menyalaminya. "Baperran!" Cetusnya. Sementara Saga hanya mengulum senyum. Masih canggung jika harus tertawa lepas. Melihat Alif saat ini, dirinya teringat dengan Oji sahabatnya.
"Kamu tinggal deket sini Suf?" tanya Alif.
"Nggak bang. Lumayan jauhlah dari sini." Jawab Saga. Alif terkekeh membuat kening Saga mengkerut.
"Panggil nama aja, kita seumuran kan?" Tutur Alif seteleh mengakhiri kekehannya. Saga menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dirinya masih merasa canggung dan pikirnya tidak sopan jika hanya memanggil nama, mengingat dirinya memang setingkat dibawah Alif walaupun seumuran. Namun Alif tetap memaksa.
Kedua pemuda itu kemudian larut dalam perbincangan. Alif yang sifatnya tak jauh beda dengan Oji sahabat Saga membuat suasana yang tadinya canggung menjadi hangat. Wawasan Alif tentang Islam membuat Saga merasa dapat mentor kedua setelah Adit, seniornya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA CINTA [END]
Teen FictionHanin membelalakkan matanya mendengar penuturan Nadia, jantungnya seakan memompa lebih cepat. Gadis itu tiba-tiba berubah jadi kaku. Namun Nadia malah terkekeh senang. Entah apa yang membuat perempuan paruh baya itu demikian. Hanin melirik Fadhlan...