Empat Belas - Nada

32.9K 1.8K 143
                                    

Rama marah. Dia bertanya kenapa aku sampai terpikir untuk berhubungan dengan laki-laki lain. Aku sampai malu karena nada suaranya tinggi sekali saat kami berada di restoran. Akhirnya kuseret dia kembali ke kamar agar kami bisa bicara.

"Aku harus segera menikah," kataku.

"Dengan laki-laki lain?" tanya Rama dengan geram.

"Ya aku gak tahu," kugelengkan kepalaku.

"Lalu kamu anggap aku apa?" Rama berdesis.

"Aku gak tahu apa kamu akan menikahiku atau nggak," aku membalas.

"Damn, Nada. I have always wanted to marry you ever since we met!" Rama membentak.

"Itu dulu," aku membantahnya.

"Maksud kamu apa?"

"Sekarang kamu punya Melodi!"

"Aku bisa putuskan Melodi sekarang juga!" Rama mengambil ponselnya dari saku celana. Kupegang segera tangannya.

"Jangan. Jangan,"

"Kamu itu kenapa sih?" Rama menarik tangannya dari peganganku.

"Jangan putuskan sesuatu ketika kamu marah," aku berkata tegas.

"Kamu juga memutuskan hal yang aneh," Rama masih berkata dengan nada tinggi. Untunglah ini bukan pertama kalinya aku melihat Rama marah.

"Aku sudah memikirkan ini beberapa lama," aku mundur sedikit. "Aku... aku gak mau lagi jadi bayangan."

"Apa?" tanya Rama pelan.

"Aku mau bisa bebas dipegang tangannya di depan umum. Aku mau bebas diucapkan cinta di hadapan siapa pun. Aku mau menghabiskan malam tanpa rasa bersalah..." Tiba-tiba saja aku menangis. Ini di luar rencanaku sebelumnya.

"Nad, sejak awal aku sudah bilang bahwa aku bersedia memutuskan Melodi. Kamu yang gak mau," Rama mendekatiku lagi, sekarang bicara dengan lembut. Tapi malah aku tetap mundur menjauhinya.

"Kita... kita mungkin yang seharusnya berhenti. Hubungan kita ini... gak bener, Ram," ujarku.

"Aku gak ngerti dengan kamu hari ini. Kamu mau dapet apa gimana sih?" Rama memegang pundakku.

Aku menggeleng, masih menduduk. "Tolong, ijinkan saja aku berusaha dengan laki-laki lain."

Rama menghela nafas. Wajahnya masih kesal. "Kalau aku tidak sebegitunya mencintai kamu, aku gak akan bilang begini."

Kudongakkan kepalaku untuk menatapnya. "Silakan mencoba dengan pria lain. Tapi aku melakukan ini hanya agar bisa membuktikan bahwa cuma aku yang kamu sayang, Nad."

Rama melepaskan pegangannya dari pundakku. Tanpa elusan, tanpa ciuman, Rama berbalik, mengambil tasnya, dan pergi dari kamar. Sepanjang perjalanan kami kembali ke Jakarta, kami tidak bicara apapun walaupun kami terus bersama-sama.

Sekarang kepalaku pusing sekali. Berdenyut tidak nyaman. Membuatku tidak fokus saat bekerja.

"Sakit?" tanya Dian, memegang pundakku.

"Nggak. Cuma pusing banget aja, Di," aku berusaha tersenyum tapi sepertinya susah sekali.

"Mau pulang aja? Ada yang urgent gak? Biar gue gantiin,"

"Gue tidur dulu bentar aja paling ya." Kulambaikan tangan sebentar kemudian berdiri. Dari tempatku menuju ruang istirahat yang disediakan kantor, letaknya tidak begitu jauh. Begitu masuk ke ruangan tersebut, aku memilih bean bag di pojok dekat jendela dan langsung memejamkan mata. Berharap ketika aku bangun nanti pusingku sudah hilang.

Undeniable Heart - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang